Para musisi dan media sudah mengkritisi mengenai RUU ini, terutama pada Pasal 5 yang memuat kalimat yang penuh dengan multi intrepretasi dan bias.
Seperti 'menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi.'
"Pasal karet seperti ini membukakan ruang bagi kelompok penguasa atau siapa pun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai," jelas Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca.
Selain itu, pasal ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh UUD 1945.
Penyusun RUU Permusikan dianggap telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalamnegara demokrasi.
"Ini kan gaya Orde Baru," tambah Jason Ranti.
2. Menyudutkan musisi independen dan berpihak pada industri besar
Dalam RUU Permusikan terdapat pasal yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik berpotensi untuk memarjinalisasikan musisi yang tidak sesuai dengan pasal ini.
Inilah yang dijelaskan oleh Pasal 10 yang mengatur distribusi karya musik.
RUU Permusikan dianggap tidak memberikan ruang kepada musisi untuk melakukan distribusi karyanya secara mandiri.
Pasal ini sangat berpotensi untuk memarjinalisasi musisi terutama musisi independen.
Menurut Jason Ranti, ketentuan ini hanya akan bisa dilakukan oleh industri besar.
Pasal ini menegasikan praktik distribusi karya musik selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar.
"Ini kan curang," kata Jason Ranti.