Soegija bukan hanya tampil sebagai uskup, tetapi sebagai seorang pemimpin. Ia tidak diam saja dalam situasi kekacauan yang melanda bangsa Indonesia. Ia bertindak sebagai patriot dengan mengedepankan kemanusiaan. Ia menunjukkan dirinya sebagai pemimpin bangsa, bukan pemimpin agama.
Sutradara Garin Nugroho membuat film "Soegija" dengan pendekatan sejarah popular yang beragam dimensi. Ia menggabungkan kisah nyata Soegijapranata dengan interpretasi kisah lain di tengah perjuangan kemerdekaan Indonesia berdasarkan sejumlah sumber.
Garin sengaja memberikan porsi cukup banyak kepada tokoh lainnya, seperti Mariyem, remaja yang bercita-cita menjadi perawat dan kehilangan kakaknya. Dalam perjalanan hidupnya ia diceritakan terlibat asmara dengan seorang fotografer asal Belanda.
Kemudian Ling Ling, anak kecil yang merindukan kepulangan ibunya setelah dibawa paksa oleh tentara Jepang. Begitu pula dengan Banteng, seorang gerilyawan remaja buta hurup. Tingkahnya yang konyol memberi nuansa humor dalam film tersebut. Lantip, gerilyawan yang belakangan melanjutkan perjuangannya menjadi politisi.
Suzuki, tentara Jepang itu, berperang demi kehormatan negaranya. Di sisi lain, ia ternyata mencintai anak-anak. Makanya, ia tidak tega ketika Ling Ling berusaha mempertahankan mesin pemutar piringan hitam yang berusaha dirampas oleh temannya sesama tentara.
Lantas, kisah Koster Toegimin yang hidup sendiri menjadi teman ngobrol Soegija. Dialog di antara keduanya sangat menarik. Misalnya, saat Toegimin mengeluh kepada Soegija bahwa dirinya tidak sempurna karena belum mempunyai istri. Secara keseluruhan kisah-kisah mereka memperkaya film tersebut sehingga layak untuk disimak.