Merujuk saran beberapa kawan, saya memilih tidak melakukan perjalanan malam selama menyusuri Pulau Sumatera. Maka saya meneruskan perjalanan saya dari Pringsewu ke Kota Agung, Kabupaten Tanggamus pada keesokan harinya.
Tidaklah susah menemukan transportasi umum menuju Kota Agung pada pagi hari. Saya menunggu bus di lokasi yang sama saat saya turun kemarin. Sekitar 15 menit saya sudah dapat bus yang mengarah ke Kota Agung. Nama busnya Lampung Jaya dan ongkos yang harus saya bayar cukup Rp 20 ribu saja.
Sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan hamparan sawah yang hijau dan deretan rumah panggung dari kayu. Jalan tidak terlalu berkelok-kelok, namun karena ukuran jalan yang tidak terlalu lebar sesekali bus harus melambatkan lajunya saat berpapasan dengan kendaraan lain.
Memasuki Kota Agung, pemandangan berganti. Aroma keramaian mulai terasa. Jalan raya menjadi lebih lebar dan dibikin dua jalur dengan pembatas taman kecil kecil ditengahnya. Ada satu hal yang langsung menarik perhatian saya, lambing kota yang berupa sepasang ikan lumba-lumba.
Lagi-lagi saya menggunakan jurus lama, yaitu merecoki kawan duduk saya dengan pertanyaan. Kali ini posisi sebelah saya terisi oleh seorang perempuan. Namanya Nita, warga Kota Agung yang baru saja menjenguk saudaranya di Bandar Lampung.
Menurut Nita lumba-lumba digunakan sebagai lambang kota karena memang ada lumba-lumba dalam jumlah besar yang sering melintas di Teluk Kiluan, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Teluk Kiluan berjarak 60 kilometer dari Kota Agung. Kurang lebih 3 jam perjalanan darat.
Cukup jauh memang, belum lagi ditambah dengan jarak tempuh laut menuju lokasi kemunculan lumba-lumba.
Saya turun terlebih dahulu dibanding Nita, maka berakhir sudah kisah pendek tentang lumba-lumba di bus antar kota ini. Masih ada sekitar satu jam perjalanan lagi yang harus saya tempuh sebelum saya benar-benar mencapai tujuan saya hari ini.
Melompat keluar dari dalam bus, tujuan sela saya adalah Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Di sini saya sudah janjian dengan kawan dari balai untuk numpang mobil patrol mereka ke lokasi taman nasional.
Perjalanan kali ini jauh lebih menarik. Sepanjang jalan saya merasakan udara sejuk cenderung dingin. Bukan, bukan karena AC mobil patroli yang sangat bagus, tapi karena saya berada di bak belakang mobil patroli. Kesejukan kuat yang saya rasakan berasal dari angin dan kondisi udara dari Kota Agung menuju taman nasional yang memang dingin.
Ditambah lagi dengan laju mobil yang cukup kencang. Sejujurnya saya agak heran dengan mobil ini, kecepatan dan kekuatannya sungguh berbanding terbalik dengan penampakannya. Mobil patrol ini bisa dibilang cukup tua, beberapa karat nampak disana sini begitu juga dengan cat yang sudah mulai memudah bahkan terkelupas. Jadi ingat pepatah lama, “jangan menilai isi buku hanya dari sampulnya”.
Perjalanan ke taman nasional ternyata berbonus pemandangan yang luar biasa. Hamparan sawah, perbukitan hijau, deretan rumah panggung kayu sederhana, beberapa sungai besar dengan air jernih dan lebatnya hutan belantara.
Menjelang sore saya tiba di salah satu pondok milik taman nasional. Malam ini saya akan menginap disini. Dan berhubung perut sudah sangat lapar, hal pertama yang saya lakukan dengan beberapa teman adalah memasak. Disini kami harus memasak sendiri, maka bisa dibayangkan nasib lidah kami saat mencicipi hasilnya nanti. Bisa jadi menari kegirangan atau malah mengkerut menahan derita.
Suasana malam di taman nasional sangat menyenangkan. Walaupun gerimis tiada habis, namun secangkir kopi dan paduan suara binatang membuat kami merasa hangat dan nyaman.