Sebab, katanya, kisah-kisah romantisme Bung Karno dengan Bu Inggit Garnasih dan Bu Fatmawati sangat dominan dalam film ini.
Film ini, menurutnya, seakan-akan menggambarkan bahwa Kemerdekaan merupakan pemberian dan hadiah dari Jepang. Padahal, Ara menegaskan, kemerdekaan merupakan hasil jerih payah semua pejuang, dan itu direbut, bukan diberikan.
"Perjuangan Bung Karno saat di Ende NTT juga seharusnya mendapat porsi yang lebih, tidak hanya ditampilkan sekilas. Di Ende ini, selain Soekarno berinterkasi dengan tokoh-tokoh agama, juga merupakan tempat Soekarno menggali Pancasila," kritik Maruarar.
Di luar itu, Maruarar menilai ada pelajaran penting dari ketiga sosok yang ditampilkan dalam film ini. Soekarno yang intelektual-ideoligis, Bung Hatta yang intelektual-moderat, dan Sutan Syahrir yang tegas dan keras.
Dari sosok Bung Karno, lanjutnya lagi, kemudian bisa dipetik pelajaran bahwa kondisi sosial dan politik yang berkembang bisa melahirkan strategi yang berbeda.
"Apakah harus tegas menentang atau diplomatis-kooperatif. Kepada Belanda misalnya, Soekarno sangat tegas dan keras, sementara kepada Jepang cukup kooperatif. Dalam sejarah berikutnya, Soekarno juga sangat tegas menentang imperialisme dan kolonialisme baru yang dilakukan oleh lingkar negara-negara Barat," paparnya.