TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehidupan penyanyi senior Eddy Silitonga, yang meninggal dunia di Jakarta pada Kamis (25/8/2016) dini hari, penuh warna.
Ia pernah menjadi kondektur bus kota. Ia pernah pula menjuarai sejumlah lomba nyanyi tingkat daerah dan nasional dan menjadi pencetak hit.
Ia juga pernah bangkrut dalam bisnis. Ia pun pernah menjadi Duta Kebudayaan Indonesia.
Kecintaan anak keempat dari 11 bersaudara ini terhadap tarik suara sudah muncul sejak kecil.
Ketika masih di SD, ia sering tampil menyanyi di panggung.
Ketika remaja, Eddy menjadi juara pertama dalam Festival Penyanyi Seriosa Sumatera Utara dan Festival Pop Singer di Medan pada 1967.
Setahun kemudian, setelah lulus dari SMA, Eddy merantau ke Jakarta dengan menumpang kapal laut pada 31 Desember 1968.
Namun, Jakarta bukanlah tempat yang mudah ia taklukkan.
Demi hidup sehari-hari, pria yang lahir di Pematang Siantar, Sumatera Uatara, pada 17 November 1950, ini sempat menjadi kondektur bus kota.
Nasib Eddy mulai berubah ketika ia berhasil meraih juara keempat dalam Festival Lagu Populer Tingkat Nasional pada 1975.
Produser musik dan pencipta lagu (mendiang) Rinto Harahap ketika itu tertarik pada warna vokal Eddy yang berkarakter.
Setahun kemudian Rinto mengorbitkannya. Lagu "Biarlah Sendiri", ciptaan Rinto, mejadi hit berkat vokal Eddy.
Lagu tersebut juga melejitkan karier Eddy.
"Lagu itu luar biasa. Sampai sekarang saya belum menemukan lagu yang sedemikian pas dan cocok untuk saya bawakan," kata Eddy semasa hidupnya.
Pernyataan Eddy itu ditulis oleh Kompas pada edisi 15 April 1997 dalam artikel berjudul "Eddy Silitonga Ingin Melantunkan Lagu 27 Propinsi".
Eddy pernah membentuk band bernama Madya Sapta dan mengambil posisi vokalis sekaligus gitaris.
Setelah itu, pada 1976-1979, ia sempat mendirikan grup vokal bernama Eddy's Group bersama adik-adiknya.
Selain berkarier sebagai penyanyi, Eddy juga berkesempatan menempuh pendidikan di Institute of Technology di Mapua, Filipina, selama tiga tahun.
Terpuruk
Namun, nasib malang kemudian menimpanya. Eddy kehilangan ratusan juta rupiah hasil keringatnya di bidang tarik suara selama bertahun-tahun.
Ia menanam modal dalam perusahaan pest-control. Perusahaan yang didirikan pada 1980 itu bangkrut.
Ia semakin terpuruk karena tawaran menyanyi mendadak sepi.
Belum lagi, ia harus kehilangan istrinya yang meninggal dunia setahun berikutnya.
"Saya bingung. Bayangkan usaha saya bertahun-tahun ludes hanya dalam waktu sekejap," ucap Eddy dalam sebuah wawancara.
"Beberapa buah mobil, tanah, dan uang tunai lenyap bagai ditelan bumi," ucapnya lagi.
Pemilik suara lantang itu kemudian memilih menenangkan diri di sebuah rumah sederhana miliknya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Sejak itu, selama lima tahun hingga 1986, Eddy beristirahat dari ingar-bingar industri musik Tanah Air.
Bangkit
Pada 1987, penyanyi Emilia Contessa menarik Eddy kembali ke dunia yang ia cintai, tarik suara.
Emilia mengajaknya ikut tampil bersama di Malaysia.
Berangsur-angsur, kehidupan Eddy membaik. Ia kemudian mulai banyak membawakan lagu-lagu daerah.
Lagu-lagu berjudul "Alusi Au", "Ndung Ku", "Romo Ono Malung", dan "Cugak" ia bawakan dengan apik.
Berkat dedikasinya melantunkan lagu-lagu daerah, Eddy dijadikan Duta Kebudayaan Indonesia pada 2010 oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik.
Ia bertugas mempromosikan budaya dan pariwisata nasional ke 49 negara lain di lima benua di dunia selama lebih dari sembilan bulan.
Meski tak setenar dulu, Eddy masih tetap sesekali menghibur para penggemarnya dengan suara khasnya di panggung-panggung kecil.
Misalnya, di kafe atau hotel berbintang.
Kini, pelantun "Biarlah Sendiri" itu telah berpulang.
Ia mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis (25/8/2016) pukul 00.05 WIB dini hari.
Setelah dirawat selama dua minggu karena penyakit komplikasi jantung dan diabetes, Eddy meninggal dalam usia 65 tahun.
"Ya, tadi malam (meninggal) jam 12.05 dini hari," kata salah satu putranya, Mario, ketika dihubungi oleh Kompas.com pada Kamis pagi.
Jenazah Eddy sekarang disemayamkan di rumah duka RS Fatmawati.
Direncanakan, jenazahnya akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kampung Kandang, Jakarta Selatan, pada Sabtu (27/8/2016).
Penulis: Andi Muttya Keteng