Menceritakan tentang Juno, sebagai penari lengger dan kegelisahan terhadap jati dirinya. Film yang diproduseri Ifa Ifansyah ini, menyabet gelar juara Venice Independent Film Critic, Festival Des 3 Continents, dan Asia Pasific Screen.
Pemutaran film Kucumbu Tubuh Indahku di bioskop menuai kecaman beberapa pihak, termasuk tiga pemerintah daerah; Depok, Jawa Barat, serta Kubu Raya dan Pontianak, Kalimantan Barat.
Film Kucumbu Tubuh Indahku garapan sutradara kawakan Garin Nugroho ditolak penayangannya di beberapa daerah karena dianggap "mengkampanyekan LGBT".
Film yang menampilkan peleburan maskulin dan feminin dalam tubuh karakter utamanya dianggap mengangkat budaya LGBT secara berlebihan.
Sejak ditayangkan mulai 18 April, pemerintah di beberapa kota langsung melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok, Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan yang terakhir di Padang.
Adegan 'penyimpangan seksual' yang Lulus Sensor
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menganggap pemutaran film ini berdampak pada keresahan masyarakat karena adegan penyimpangan seksual yang ditayangkan di film tersebut dapat mempengaruhi cara pandang atau perilaku masyarakat, terutama generasi muda.
"Terutama dalam kaitannya adanya perilaku seks menyimpang, yang itu tentu rentan dan dikhawatirkan akan menjadi suatu pembenaran bagi generasi muda yang tidak memahami," ujar Muda.
Padahal, Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan film ini lolos sensor. Ketua LSF Ahmad Yani Basuki beralasan meloloskan film ini karena dianggap mengandung nilai edukasi.
Kecewanya Sang Sutradara
Sutradara Garin Nugroho mengatakan bertubi-tubinya pelarangan penayangan yang ditujukan terhadap filmnya dari berbagai pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sejumlah daerah menunjukkan "kemerosotan terhadap penghormatan cultural diversity dan demokratisasi."
"Jadi sebenarnya saya adalah korban dari apa yang disebut dengan demokratisasi dari massa yang banal," ujar Garin.
Selain itu, menurut Garin, menjamurnya politik identitas membuat semua kelompok, baik kaum mayoritas maupun minoritas, mulai sangat radikal.
"Kucumbu terperangkap di tengah era dari apa yang disebut dengan politik identitas itu sendiri."
Sayangnya, sebelum pelarangan penayangan, Garin menuturkan dirinya tidak pernah diajak dialog oleh para pemimpin daerah dan pemuka agama yang melarang filmnya.
Padahal, Garin menuturkan, daftar panjang film-film bertema gender dan seksualitas ada dalam sejarah perfilman Indonesia.