"Kehidupan ini secara umum untuk perkembangan anak dan remaja tidak lazim, tapi fenomena ini ada di tengah sudut kehidupan masyarakat."
"Ini sebetulnya ketika diangkat menjadi film ini, itu menjadi nilai edukasinya mengingatkan orang tua hati-hati ketika mendidik anak, jangan sampai salah asuh," kata Ketua LSF Ahmad Yani.
Metafora trauma tubuh
Namun, sang sutradara, Garin Nugroho yang kerap mengusung tema sensitif dalam film-filmnya mengungkapkan, film garapannya kali ini ingin mendedah trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang penari, Rianto, yang menjadi inspiratornya.
"Tema saya tentang trauma tubuh yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam film ini. karena tokohnya seorang penari, maka trauma tubuhnya menyangkut maskulin dan feminim."
"Tentang LGBT pasti menjadi bagian dari persoalan feminim dan maskulin itu. Oleh karena itu harus dimunculkan dan dialogkan."
Trauma 'tubuh' yang dimaksud Garin, bukan hanya tubuh secara fisik, tapi juga metafora. Selain tentang gender dan seksualitas, ia juga menyinggung memori sebuah bangsa yang dikubur dan enggan dibicarakan karena menimbulkan trauma.
Itu adalah 'tubuh personal' si penari, 'tubuh sosial'-nya, menyangkut perjalanan hidupnya beradaptasi dengan lingkungan yang satu dengan yang lain dan 'tubuh politik', yakni tudingan komunis yang ditujukan oleh ayahnya yang membuatnya trauma dan membayangi perjalanan hidupnya.
"Jadi ada sebuah tubuh dengan trauma-traumanya dan ada bangsa yang tidak memecahkan trauma-traumanya dan melahirkan trauma yang menjadi penyakit bersama bangsa ini," jelas Garin.
Lebih jauh, Garin menuturkan, selain mengisahkan perjalanan hidup si penari, karya ini juga tumbuh dari sebuah riset tentang dualisme gender dalam berbagai aspek kehidupan, baik alam semesta, maupun seni tradisi yang sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa.
Pemilihan lengger dan reog merupakan usaha Garin mendekatkan tema-tema tersebut pada penonton.
Lewat tokoh warok yang menjadikan Juno sebagai gemblaknya, Garin membuat pernyataan bahwa hubungan sesama jenis bukan hal baru dalam budaya Indonesia.
Bahkan, kisah penari lengger dipilih untuk menjadi contoh keberagaman ekspresi seksual. Lengger merupakan kesenian yang ditarikan lelaki dengan berdandan ala perempuan.
Kesenian ini sudah hadir di tengah masyarakat Banyumas sejak lama dan tercatat dalam Serat Centhini yang keluar pada 1814.
Feminisme dan maskulinitas dalam tubuh penari
Didik Nini Thowok, penari yang sudah sekian lama mempraktikan tarian lintas gender mengungkapkan alasan di balik mengapa dahulu kala, banyak pria yang menari layaknya perempuan.
Contohnya, dalam wayang wong gaya Yogyakarta yang dipentaskan pada masa Sultan Hamengkubuwono VII pada Abad 19, tokoh perempuan dalam kisah itu diperankan oleh laki-laki untuk menjaga citra perempuan kala itu.
"Wanita pada zaman itu kalau tampil di depan umum imejnya jelek. Makanya wanita digantikan perannya oleh laki-laki," jelas seniman yang kini tinggal di Yogyakarta itu.
Hal yang sama juga diterapkan dalam seni lengger yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.
Bahkan, ada satu desa di Banyumas yang hingga kini masih mempertahankan tradisi tarian lengger untuk keperluan ritual, harus dilakukan oleh penari pria.
"Kalau yang menarikan wanita, pasti ada malapetaka, mana yang panggungnya jebol, mana yang hujan angin, macam-macam," kata dia.
Sama dengan film-film bertema gender, Didik yang sudah berpuluh-puluh tahun mempraktikkan tarian lintas gender mengaku, baru akhir-akhir ini muncul pelarangan untuk pentas di televisi.
"Mereka itu harusnya memahami budaya, karena ini kaitannya dengan seni budaya, dan juga sebaiknya belajar dulu. Karena apa yang saya lakukan membawakan tari cross-gender adalah tradisi yang sudah lama di Indonesia,"
Bahkan, stereotip penari pria yang lemah gemulai, identik dengan homoseksual kian menggejala.
Dia was-was jika stereotip buruk terus dicapkan pada seni tradisi ini, alih-alih tradisi ini justru tergerus zaman.
"Kalau kemudian itu banyak orang yang semakin melarang tradisi semacam ini ya selesai sudah," cetusnya.
Melenggang ke Oscar
Pernah menuai kecaman di tiga daerah karena dianggap mengkampanyekan isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), Film Kucumbu Tubuh Indahku, melenggang ke Oscar.
Film garapan sutradara Garin Nugroho terpilih untuk mewakili Indonesia untuk ajang Academy Awards atau Oscar ke-92 untuk kategori International Feature Film.
Kucumbu Tubuh Indahku, terpilih dari 42 film yang diseleksi oleh Komite Oscar 2019 atau The Indonesian Academy Awards Selection Commitee (IOSC).
Film tersebut tayang di bioskop selama rentang waktu 1 Oktober 2018 hingga 30 September 2019.
Kucumbu Tubuh Indahku sebelumnya bersaing dengan Ave Maryam garapan Robby Ertanto dan 27 Steps of May, garapan Ravi Bharwani.
“Setelah dilakukan penilaian dengan seksama, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, Indonesian Academy Awards 2019 menetapkan film berjudul Kucumbu Tubuh Indahku sebagai film pilihan dan berhak mewakili Indonesia ke Academy Awards ke-92 untuk kategori International Feature Film,” kata Sheila Timothy, selaku Sekretaris Komite Seleksi Film Nasional dalam konferensi pers di XXI Lounge Plasa Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).
Film yang dibintangi Muhammad Khan dan Randy Pangalila itu, dianggap sebuah karya film yang lengkap.
“Film itu bukan hanya bahasa oral dan gambar saja, namun terdapat ada bahasa batin dan rasa,” kata tambah Christine selaku Ketua Komite Seleksi Film Nasional.
Lebih lanjut, dia mencontohkan bahwa adegan percintaan dalam film ini digambarkan tidak seperti biasa sebagaimana orang bercinta yang vulgar.
“Tapi justru dengan idiom-idiom dalam budaya kita itu ada penari Lengger. Sekaligus ini perkenalkan kayanya budaya kita. Jadi ini yang kita lihat lengkap di samping pesannya yang kuat bicara tentang kemunafikan. Artinya orang yang membuat hukum itu justru melakukan lebih buruk lagi. Dan menganggap dunia ini milik sekelompok kecil saja, dan orang yang dianggap tak bermoral tidak boleh ada,” tambahnya.
Komite Oscar 2020 atau The Indonesian Academy Awards Selection Commitee (IOSC) bertugas memilih film dari Indonesia yang akan diikutkan dalam ajang Academy Awards atau Oscar ke-92 untuk kategori International Feature Film.
Sebelumnya, ajang tersebut bernama The Oscars Foreign Languange Film.
Sebagai pelaksana, Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) ditunjuk oleh panitia Academy Awards untuk Oscar ke-92 untuk kategori International Feature Film sejak 1987.