TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panggung musik sepanjang tahun 2019 seakan tak bisa lepas dari nama .Feast dan The Panturas.
Awal sejarah yang terbentuk di kota kelas dua macam Depok dan Jatinangor nyatanya tidak mampu menahan laju kedua grup musik rok ini untuk menaklukan ibukota.
Untuk pertama kalinya, .Feast dan The Panturas akan hadir bersama secara virtual dalam tayangan Soundstream episode ketiga, sekaligus menutup rangkaian musik akhir pekan di Bulan Agustus.
“Memilih .Feast dan The Panturas itu sejujurnya tidak sulit. Kedua band ini sedang naik daun serta yang paling penting keduanya punya konsep dan karakter yang kuat tapi kontras. Dari tiga rangkaian episode Soundstream, saya yakin kalau mereka mampu menjadi penutup yang manis,” ujar Kukuh Rizal Arfianto, Creative Director Soundstream saat jumpa media yang diadakan secara virtual.
Sebelumnya .Feast dan The Panturas tercatat pernah berbagi panggung dan merilis sebuah lagu hasil kolaborasi berjudul Gelora pada akhir tahun 2019 lalu.
“Tantangannya justru untuk memastikan agar Soundstream bisa memberikan sesuatu yang lebih bagi penontonnya nanti. Kedua band ini sedang rajin naik panggung. Jadi, saya mencoba untuk memberi lebih dari sekedar musik dan akhirnya saya memilih untuk mengangkat cerita mereka. Lebih tepatnya kisah tentang pembuatan album yang mungkin masih jarang diketahui,” papar Kukuh.
Selalu ada cerita di balik setiap lagu yang sering kali menjadi ‘bahan jualan’ atau justru kadang menjadi spekulasi liar di mata publik.
Lagu Peradaban milik .Feast diklaim lahir akibat peristiwa bom di Surabaya yang memicu pertentangan antara paham radikal dan peradaban asli Indonesia.
Di sisi lain, lagu instrumental bertajuk Tenggelamkan milik The Panturas terinspirasi dari Susi Pudjiastuti yang sewaktu menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan kerap melakukan penenggelaman kapal.
"Lucunya, tidak semua musisi punya cerita menarik dibalik penciptaan album. Inilah yang kemudian saya coba angkat dari album Membangun dan Menghancurkan milik .Feast serta Mabuk Laut milik The Panturas,” ungkap Kukuh.
The Panturas yang terbentuk sejak akhir tahun 2015 melabeli diri mereka sebagai ‘klab rock selancar kontemporer’ karena ragam pengaruh musik kontemporer yang mereka mainkan.
Gelombang musik ini datang dari Jatinangor yang menjadi tempat para personilnya menempuh studi.
Surya ‘Kuya’ Fikri selaku penabuh drum dalam kelompok musik The Panturas mengakui kalau album Mabuk Laut tak lebih dari sebuah kumpulan karya lagu.
“Tapi, album memang masih jadi penanda keberadaan sebuah band yang rasanya wajib dimiliki. Kami pun juga jadi belajar banyak mengenai proses produksi musik dan juga lebih memikirkan visi kami kedepannya,” ucap Kuya mewakili band yang beranggotakan empat orang ini.