Penentuan jam tersebut bukan sembarangan.
Jam 10.00 dan jam 15.00 dipercaya merupakan waktu saat bidadari turun ke sungai untuk mandi.
Dengan melakukan siraman pada jam-jam yang bersamaan dengan mandinya bidadari itu, pengantin wanita diharapkan bisa menjadi cantik seperti bidadari.
Selain tujuan dari penentuan waktu tersebut, siraman juga memiliki tujuan luhur dari pelaksanaannya.
Baca juga: SBY Hadir Tapi Surya Paloh Absen ke Kaesang-Erina, Pengamat: Bisa Jadi Tukar Posisi di Pemerintahan
Adapun tujuan siraman sendiri adalah memohon berkah dan rahmat Tuhan agar kedua mempelai dibersihakan dari segaka keburukan.
Dengan siraman, kedua calon pengantin juga diharapkan mendapat tuntunan selama mengarungi bahtera rumah tangga.
Ubarampe Siraman
Dalam upacara siraman terdapat beberapa piranti atau ubarampe yang harus disiapkan.
Masing-masing ubarampe siraman itu tidak sembarangan, mereka memiliki makna filosofis yang mendalam.
Berikut beberapa makna ubarampe siraman: Air Siraman Air siraman disebut juga dengan banyu peritosari.
Air siraman merupakan air yang dicampur dengan bunga setaman, yaitu mawar, melati, dan kenanga.
Sumber air bisa memilih salah satu dari: 7 sumber air berbeda, air keraton, air tempuran dua aliran sungai, atau sumur-sumur tua.
Adapun sumber air dari 7 tempat yang berbeda ini melambangkan harapan hidup untuk saling menolong.
Tujuh dalam bahasa Jawa adalah pitu, yang kemudian dimaknai dengan saling pitulungan atau saling tolong menolong.
Kembang Setaman
Kembang atau bunga setaman yang biasa digunakan adalah mawar, melati, dan kenanga. Ketiganya merupakan bunga yang terkenal harum baunya.
Maksud dari penggunaan kembang setaman ini adalah agar keluarga yang dibina senantiasa keharuman dari para leluhur.
Harum bagi masyarakat Jawa bermakna diberkahi, direstui, sehingga keluarga yang dibina tidak menemui ringtangan yang besar.
Bunga melati melambangkan ketulusan yang luar biasa. Melati dimaknai dengan "rasa melas saka jero ati", atau kasih sayang dari dalam hati.
Bunga kenanga dimaknai dengan kata “keneng-a” atau gapailah.
Maknanya, calon pengantin diharapkan bisa menggapai keluhuran budi para pendahulu.
Sementara mawar dimaknai dengan kata “mawi-arsa” yaitu memiliki kehendak atau niat.
Bahwa pengantin harus memiliki ketulusan niat dalam membina rumah tangga.
Beberapa ubarampe siraman lain seperti gayung dari batok kelapa dimaknai agar kedua mempelai memanfaatkan hasil alam secara bijaksana.
Lalu ada kendi yang dipecahkan, yang bermakna pengantin siap menikah dan membina rumah tangga dengan baik.
Selain itu juga ada makanan yang disajikan saat upacara siraman seperti nasi tumpeng, bubur ketan 5 warna, pisang raja, dan sebagainya.
Masing-masing makanan itu juga memiliki makna filosofis yang mendalam, dan harapan kebaikan bagi kedua calon pengantin.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul INTIP Perbedaan Siraman Kaesang Pangarep dan Erina Gudono, Sama-sama Adat Jawa Beda Prosesi