Dari ayah temannya itulah ia banyak mengenal istilah pewayangan, profesi dalang, dan berbagai cerita, seperti Ramayana dan Mahabarata. Karena ikut ayah temannya mendalang, ia sering bolos mengaji, dikutip dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id
Tamat SR, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP lalu ke SMA-B di Singaraja.
Baca juga: Update Longsor di Natuna: 15 Orang Meninggal hingga Keluarga Mantan Bupati Natuna Ilyas jadi Korban
Masa remajanya di Bali dihabiskan untuk berteater.
Berbagai pementasan drama dilakukannya bersama Putu Wijaya, teman satu sekolahnya.
Setelah tamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), menyusul Putu Wijaya yang telah lebih dahulu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di sana.
Baru setahun mengikuti kuliah di fakultas itu, ia pindah ke Fakultas Kedokteran.
Baca juga: Pernyataan RSUD Subang Terkait Kejadian Ibu Hamil Meninggal, Mengaku Berdosa dan Meminta Maaf
Tahun 1966, setelah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI yang berkaitan dengan terjadinya pergolakan mahasiswa, suasana berkesenian benar-benar lumpuh.
Dia ikut berdemonstrasi, bahkan ia dipercaya sebagai penghubung Yogyakarta-Jakarta. Ketika suasana bertambah gawat, ia kembali ke Bali.
Karena kesepian dan kuliahnya berantakan, ia pindah ke Jakarta.
Di Jakarta ia masuk Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, dengan maksud agar memperoleh pengetahuan untuk kesenian.
Namun, di fakultas tersebut ia juga merasa jenuh dan kuliahnya tidak pernah selesai.
Setelah beberapa tahun bergabung bersama Teater Kecil, pimpinan Arifin C. Noer, tahun 1974 ia mendirikan sebuah grup teater yang bernama Teater (Siapa) Saja.
Pada 1979, ia bertugas sebagai dosen tamu di Universitas California di Davis, Universitas Ohio, dan Universitas Michigan.
Pada saat yang sama, ia juga menjadi seniman tamu di Theatre Compesino (Los Angeles), Snake Theatre (San Fransisco), dan di Gafres Tire (Minneacles).