BWF berusaha mengatasi permasalahan ini melalui program edukasi kemampuan berkomunikasi kepada para pebulutangkis. Pada setiap turnamen, para pebulutangkis juga diarahkan untuk memberikan tanggapan yang bagus kepada media.
Namun demikian, kemampuan itu kembali ke latar belakang budaya setiap pemain. Gayle tidak ragu menyebut pebulutangkis-pebulutangkis Eropa lebih mudah terbuka dengan media.
Budaya di Eropa membuat mereka menjadi pribadi yang lugas mengutarakan pikiran dan perasaan mereka kepada orang lain.
“Pemain Asia tidak seperti itu. Mereka cenderung sulit mengungkapkan semuanya,” ujar Gayle.
Fenomena seperti ini mudah ditemui pada beberapa pebulutangkis Indonesia. Jawaban mereka seperti sudah memiliki pakem dan sekadarnya. Menurut Gayle, ada sejumlah kemungkinan mengapa sikap seperti ini kerap terjadi pada pebulutangkis Indonesia.
“Apakah memang mereka dilarang memberikan banyak komentar atau memang mereka kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Padahal setahu saya pemain Indonesia lebih bebas berpendapat daripada pemain Tiongkok,” papar Gayle.
Gayle menilai para pebulutangkis Indonesia lebih ke arah kurang memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Gayle kemudian menunjukkan sikap sejumlah pebulutangkis saat konferensi pers BCA Indonesia Open Super Series Premier 2015 awal pekan ini di Hotel Sultan.
Tanpa menyebut pebulutangkis yang dia maksud, Gayle menilai beberapa di antara mereka ada yang menunjukkan gestur kurang patut untuk konferensi pers.
“Di hadapan media, mereka harus menunjukkan kewibawaan dan kemantapan mereka untuk berkompetisi. Bukan duduk seperti malas-malasan. Apa yang mereka tunjukkan seperti kurang respek kepada orang yang mewawancarai mereka,” tutur Gayle.