TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembinaan olahraga harus dimulai dari usia dini dan dilaksanakan dengan baik dan benar, secara berjenjang dan berkesinambungan.
Bagusnya pembinaan dan pengelolaan olahraga Indonesia di tahun 1970-1980-an, termasuk dengan didirikannya Sekolah Khusus Olahraga Ragunan yang menghasilkan banyak atlet handal dan berprestasi membanggakan, telah dijadikan rujukan setidaknya oleh Thailand dan Malaysia.
Namun, kondisi saat ini berbalik karena Indonesia yang dulu dicontoh, kini justru dicemooh karena prestasi olahraganya telah tertinggal.
“Negara-negara yang dulu mencontoh Indonesia dalam pembinaan olaraga, sekarang sudah jauh meninggalkan kita dari segi pencapaian prestasi di multi event internasionalnya. Thailand telah menjadi langganan juara umum SEA Games, bahkan Malaysia yang akan menjadi tuan rumah SEA Games tahun 2017 sudah mencemooh dengan tidak akan mempertandingkan cabang olahraga yang tidak dipertandingkan di ajang Olympiade, agar menjadi juara sejati, tidak karena cabang olahraga tambahan seperti Indonesia yang menjadi juara umum karena mendapat banyak medali dari cabang olahraga tambahan sebagai tuan rumah,” kata Kepala Bidang Promosi Kepemudaan dan Keolahgragaan pada Asisten Pengembangan Penghargaan dan Promosi Kemenpora, Alman Hudri.
Alman merasa miris dengan kondisi olahraga saat ini yang terus terpuruk. Terakhir, Indonesia bahkan hanya menempati posisi kelima di SEA Games 2015 Singapura, di bawah Thailand, Singapura, Vietnam dan Malaysia.
Tradisi emas Olimpiade juga telah putus. Karena itu, harus ada langkah strategis dan sistematis untuk mendokrak kebuntuan prestasi.
Degan menempatkan pembinaan olahraga yang dimulai dari usia dini secara baik dan benar sebagai kunci utama, sebab tidak ada yang instan dalam pencapaian prestasi.
“Pada era 70-an di negara kita belum banyak mempunyai Profesor Olahraga, begitu juga dalam segi prasarananya nyaris kita hanya terbatas pada peninggalan Asian Games 1962 yang dibangun di komplek Senayan. Tapi ironisnya dengan segala keterbatasan tersebut pelaksanaan olahraga mulai dari usia dini nyaris dilakukan dengan sempurna. Mulai dari melakukan pemanduan bakat, pengelompokan dan memilah milah bakat, melakukan pemeliharaan dan pembinaan bakat, melakukan pembinaan dan pengembangan bakat, semuanya berjalan dengan baik. Sehingga pada masa itu capaian dan kualitas prestasinya sangat membanggakan,” jelas Alman yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Persatuan Panahan Indonesia (Perpani) ini.
Dengan kata lain, lanjut Alman, struktur dan wadah pembinaan, mulai dari pemassalan, pembibitan dan peningkatan prestasi harus dioptimalisasi dan kembali digairahkan.
Kegiatan ekstra kurikuler di sekolah-sekolah dan kalangan pesantren sebagai tahap pemassalan harus digalakkan. Kemudian pembibitan yang terdapat di kelas-kelas olahraga yang sekarang berbentuk Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) di berbagai provinsi mesti dioptimalkan, termasuk dalam penentuan skala prioritas cabor sesuai dengan potensi masih-masing daerah. Sementara pembinaan prestasi usia dini lewat klub-klub professional yang bernaung di bawah organisasi olahraga jumlahnya terus tergerus sedapat mungkin harus kembali dihidupkan.
“Dalam masalah wadah pembinaan club di negara kita ini sudah sangat miskin. Sebagai contoh pada tahun 1970-1980-an untuk cabang olahraga Atletik, di Jakarta saja tidak kurang ada 10 club yang melaksanakan pembinaan didukung oleh beberapa BUMN. Begitu juga halnya dengan cabang olahraga renang dan senam, mempunyai wadah-wadah pembinaan yang cukup banyak dan memadai, sehingga pada masa itu tidak heran jika para atlet kita selalu mendominasi perhelatan SEA GAMES. Sekarang entah dimana rimbanya?,” tutur Alman.
Grand desain untuk kembali pembinaan olahraga mulai dari usia dini inilah yang kembali harus dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan olahraga nasional.
Keberadaan Komite Olympiade Indonesia (KOI) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KON) juga harus kembali ke fungsinya yaitu membantu pemerintah untuk mengendalikan pembinaan olahraga nasional guna menghadapi berbagai ajang multi event maupun single event.
“Saat ini, justru kedua lembaga tersebut dalam melaksanakan tugasnya, terkesan tidak harmonis sehingga berdampak tidak baik terhadap pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh Induk Cabang Olahraga. Kondisi ini juga harus diperbaiki,” tambah doktor lulusan Universitas Negeri Jakarta tersebut.