Alasannya? Karena dia mengenakan hijab
Ketika Konate pulang untuk bermain di turnamen 3x3 pada liburan musim panas tahun lalu, dia baru mengetahui bahwa dia dilarang masuk ke lapangan.
Pada 2022, Federasi Bola Baset Prancis (FFBB) secara tegas melarang atribut apapun yang "berkonotasi religus atau politis".
"Saya tidak percaya," kata Konate.
Awalnya dia mengira "itu hanya lelucon".
"Bagaimana bisa itu terjadi pada saya. Saya kira kami adalah keluarganya. Rasanya seperti, ini saya, teman-teman. Kita biasa bermain bersama, saya adalah bagian dari kalian. Saya masih orang yang sama, tidak ada yang berubah," ujar Konate.
"Hati saya benar-benar hancur."
"Saya terlahir sebagai seorang Muslim, jadi saya ingin belajar lebih banyak tentang agama saya dan akhirnya saya menemukan jawaban atas semua pertanyaan saya."
"Sangat munafik bagi Prancis menyatakan diri sebagai negara kebebasan, negara hak asasi manusia, tetapi pada saat yang sama, mereka tidak mengizinkan Muslim atau warganya untuk menunjukkan jati diri mereka," kata Konate.
"Ini sangat membuat frustrasi karena tidak dapat mewakili negara saya atau bermain basket hanya karena identitas agama saya sebagai wanita Muslim yang memilih mengenakan jilbab," kata Konaté.
"Saya tidak dapat sepenuhnya mengekspresikan keyakinan saya dan mengejar aspirasi atletik saya."
Para aktivis mengatakan larangan jilbab di Prancis tidak hanya diskriminatif.
Larangan ini juga secara efektif mencegah wanita dan anak perempuan Muslim berpartisipasi penuh dalam olahraga, rekreasi, atau karier, dan pengecualian ini dapat berdampak negatif pada kehidupan mereka, termasuk kesehatan mental dan fisik mereka
Bilqis Abdul-Qaadir, mantan pemain basket NCAA Amerika yang memimpin pencabutan larangan jilbab FIBA pada tahun 2017 mendesak rekan-rekan atletnya untuk tidak menyerah dalam menghadapi larangan tersebut.