Sayang, Arhan gagal bersinar di Liga Korea Selatan seperti pendahulunya, Asnawi Mangkualam.
Kegagalan Pratama Arhan juga jadi akhir dari era kuota Asia Tenggara di kompetisi profesional di Korea Selatan.
Mulai 2025, K-League sudah menghapus sepenuhnya regulasi kuota khusus untuk pemain dari Asia Tenggara.
Kisah Pratama Arhan juga dihubung-hubungkan dengan kegagalan kisah kuota Asia Tenggara di Liga Korea Selatan.
Menurut Nate, para pemain Asia Tenggara dinilai memiliki skill di bawah standar.
Selain itu, skill para pemain Asia Tenggara tidak mampu bermain dengan intensitas pertandingan di banyak pertandingan.
Alhasil tidak ada keuntungan untuk merekrut para pemain Asia Tenggara bagi tim-tim Korea Selatan, selain penambahan follower sosial media milik mereka.
"Alasan kegagalan pemasaran di Asia Tenggara adalah karena keterampilan sebagian besar pemain berada di bawah standar," tulis Nate.
"Karena skill mereka yang kurang bagus untuk bermain dalam permainan."
"Tidak ada pengaruh pemasaran yang signifikan kecuali peningkatan jumlah pengikut di media sosial klub saat pertama kali bergabung dengan tim," lanjutnya.
Salah satu petinggi klub di Korea Selatan juga mengeluhkan gaji para pemain Asia Tenggara.
Menurutnya, rata-rata gaji para pemain Asia Tenggara ada di kisaran 200 juta won atau 2 miliar rupiah.
Angka ini juga dinilai sangat mahal. Hal tersebut membuat tim-tim Korea Selatan memilih merekrut para pemain dari Amerika Latin atau Eropa Timur.
Selain itu, penambahan follower di sosial media juga tidak membuat jersi mereka diminati publik Asia Tenggara. Harga yang terlalu tinggi jadi penyebab utama.