Tapi begitulah. Semakin ke sini, anehnya, tentang PSMS yang "menyamar" atau "disamarkan" ini, cenderung kelihatan makin dikaburkan. Sejak Piala Jenderal Sudirman digelar, kata 'PSMS' seolah-olah menjadi kata yang tabu.
PSMS disembunyikan dengan segenap daya upaya. Saat pertandingan yang melibatkan PS TNI disiarkan langsung di televisi, presenter dan komentator, tak sekali pun mengungkit-ungkit PSMS.
Sebuah koran nasional menurunkan artikel satu halaman penuh yang membahas gaya bermain PS TNI yang menurut pandangan penulisnya luar biasa. Bersemangat tinggi, keras, dan penuh fanatisme. Dan penulis itu memberikan acungan jempol.
Saya jadi bertanya-tanya, ini penulis baru kemarin sore mengikuti sepakbola nasional atau memang pura-pura tidak tahu? Sejak zaman layar televisi masih hitam putih, PSMS sudah bermain dengan cara seperti itu. Sepakbola Medan, yang keras namun tak kasar, meski kadang-kadang nakal.
Jika seluruh awak PSMS "dibedol desa" ke PS TNI, semestinya penulis ini tahu bahwa gaya permainan ini akan terasuk sepenuhnya. Atau sebenarnya pun bukan terasuk. Sebab yang jika lambangĀ TNI yang tertempel di kostum hijau di bagian dada sebelah kanan itu diganti lambang PSMS, maka yang bermain melawan (sejauh ini) tiga klub ISL, dan menang, itu adalah PSMS.
Hari berikutnya, juga di satu media nasional, diturunkan artikel yang menyebut pemain-pemain PS TNI mendadak menjadi idola-idola baru. Seperti sebelumnya, tidak ada satu pun kata 'PSMS' muncul di sana.
Ini belum seberapa. Lebih parah lagi, ada sebaris kalimat di dalam artikel itu, yang berupaya menjelaskan "asal muasal" para pemain PS TNI. Dan mereka memilih kalimat seperti ini: "Awalnya mereka tidak terlalu dikenal, hanya kumpulan pemain yang bertanding di level Divisi Utama."
Duh, kacau sekali, ya! Kenapa tidak disebut PSMS saja? Kenapa nama PSMS harus disembunyikan seperti halnya identitas korban pemerkosaan di bawah umur?
Yang juga membuat saya tak paham, untuk apa sebenarnya semua upaya pengaburan fakta ini dilakukan? Inisiatif sendiri atau ada yang memerintah?
Tengku Agus Khaidir (Korlip Tribun Medan)
Twitter: @aguskhaidir