News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sudut Lapangan

Celana Dalam Lineker pada Babad Baru Leicester

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Leicester City menang.

AWAL musim 2015-2016, dalam satu program bincang-bincang sepakbola di satu stasiun televisi Inggris, Gary Lineker yang berada di sana sebagai komentator, terdiam beberapa saat tatkala pembawa acara menyinggung soal Leicester City.

Sebelum merumput bersama Barcelona dan Tottenham Hotspur, Lineker, legenda hidup sepak bola Inggris, mengawali karier di Leicester City. Dia menjadi pujaan publik Filbert Street (stadion Leicester City sebelum King Power Stadium) selama tujuh tahun (1978-1985).

Pencapaian Leicester di musim 2014-2015 terbilang buruk. Pada pekan ke 38, mereka berada di posisi 14 setelah memenangkan empat dari lima partai penghabisan. Lepas dari degradasi, memang, namun tak cukup untuk mengamankan posisi Nigel Pearson.

Inilah yang menjadi sebab keterdiaman Lineker. Pearson ditendang dari kursi pelatih dan manajemen Leicester menggantikannya dengan Claudio Ranieri.

"Benarkah begitu? Claudio Ranieri? Sungguh?" kata Lineker akhirnya. Kalimat tanya yang senyata-nyatanya menyiratkan keraguan.

Tapi begitulah, "orang bola" mana pula yang bisa menepis ragu jika disodori nama Claudio Ranieri? Lelaki Italia ini telah melatih sejak tahun 1986. Ia pernah singgah di 15 klub, termasuk klub-klub besar seperti Juventus (2007-2009), AS Roma (2009-2011), Inter Milan (2011-2012), Atletico Madrid (1999-2000), Chelsea (2000-2004), serta dua periode di Valencia (1997-1999 dan 2004-2005).

Ranieri juga pernah membesut tim nasional. Tahun 2014, ia ditunjuk sebagai pelatih tim nasional Yunani. Namun hanya beberapa bulan. Ranieri dipecat pada 15 November 2014, sehari setelah kekalahan kandang Yunani atas Kepulauan Faroe. Ia kemudian terbang ke Inggris, mengambil pekerjaan yang ditawarkan manajemen Leicester dan membuat Gary Lineker kehilangan kata-kata.

Lineker terkenal elegan. Ia cerdas dan selalu sangat berhati-hati dalam mengungkapkan pendapat. Sebab jika tidak, barangkali dia akan mengucapkan kalimat bernada ragu yang lebih berterus terang. Mungkin semacam "kenapa harus Ranieri?"

Iya, ada banyak pelatih lain, kenapa harus Ranieri? Dia memang berpengalaman, tapi para pengamat sepakbola Eropa, juga para kolumnis media, terlanjur menyebutnya sebagai "specialist in failure" alias "sang spesialis gagal".

Jose Mourinho pernah membikin heboh karena mengejek Arsene Wenger, pelatih Arsenal, dengan sebutan yang sama. Tapi dibanding kegagalan-kegagalan Ranieri, kegagalan Wenger tidak ada apa-apanya. Toh, "segagal-gagalnya" Wenger, dia pernah dan masih memberi gelar untuk Arsenal. Bahwa gelar-gelar anyar yang diberikannya bukanlah gelar-gelar utama, itu persoalan lain.

Ranieri? Jika ada yang patut dicatat, maka itu hanyalah Copa Del Rey 1998-1999 dan UEFA Super Cup 2004 untuk Valencia, serta Coppa Italia 1995-1996 untuk Fiorentina. Di klub-klub lain, apabila tidak dilengserkan gara-gara menorehkan prestasi buruk, pencapaian terbaik Ranieri paling jauh cuma "nyaris menang". Peringkat dua atau peringkat tiga.

Pertanyaannya, bukankah ini sudah cukup baik untuk Leicester City yang di Inggris, terutama pada era modern (Premier League), bahkan jarang sekali mampu menembus papan tengah? Dan atas semua fakta ini, Gary Lineker, rupa-rupanya gagal menahan diri.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini