TAHUN 1990, dalam percakapan dengan sejumlah wartawan, pelatih tim nasional Italia, Arrigo Sacchi, mengatakan bahwa selain Italia dan Brasil, ada dua tim lain yang pantas untuk diperhitungkan. Tim pertama, Argentina. Tim kedua, Jerman. Mengapa?
"Argentina, tentu, karena mereka punya Maradona. Di Meksiko (1986), dia tidak tersentuh. Sekarang banyak pelatih telah mengantongi cara untuk meredam Maradona. Tapi dia, bagaimanapun tetap seorang dewa. Argentina masih berbahaya. Sedangkan Jerman? Siapa tidak tahu Jerman. Mereka harus selalu masuk daftar unggulan. Jerman boleh buruk sepanjang tahun, tapi di turnamen yang sesungguhnya, mereka harus dipandang sebagai unggulan, harus," kata Sacchi.
Perkiraan Sacchi hampir benar. Kecuali Brasil, tiga tim lain memang masuk semifinal. Italia berhadapan dengan Argentina, dan Jerman bentrok dengan seteru lamanya, Inggris. Dan hasilnya adalah ulangan piala dunia edisi sebelumnya, Jerman versus Argentina.
Tak banyak yang mengira pasukan Franz Beckenbeauer akan melangkah sampai ke final --untuk kemudian menjadi juara. Pasalnya di fase kualifikasi, performa mereka tidak terlalu meyakinkan.
Tergabung di grup 4, dari enam laga, Jerman menang tiga kali dan ditahan imbang tiga kali, mengumpulkan poin delapan (saat itu poin untuk satu kemenangan adalah dua), dan lolos sebagai runner up di belakang Belanda.
Kemudian, dengan status sebagai juara dunia, Jerman melangkah ke Euro, Piala Eropa 1992 di Swedia. Lolos sebagai juara grup, Jerman kembali melesat ke partai puncak. Tapi kali ini mereka harus menelan pil pahit, kalah dari tim kejutan, Denmark.
"Jerman adalah Jerman. Era berganti, mereka akan tetap sama. Sepakbola bagi mereka adalah tradisi, dan seperti juga kami, di manapun mereka akan jadi unggulan. Bedanya, Jerman selalu punya energi, punya kekuatan, untuk tumbuh semakin baik. Mereka buruk di kualifikasi, maka mereka akan membaik di babak utama. Kalau mereka luar biasa di kualifikasi, keluarbiasaan ini bisa meningkat beberapa kali lipat. Mencoret mereka terlalu awal dari daftar persaingan adalah kekeliruan yang konyol," kata Luis Felipe Scolari, pelatih Brasil, usai pasukannya dipermak Jerman 7-1 di semifinal Piala Dunia 2014.
Begitulah Jerman di panggung sepakbola dunia. Mereka dijuluki Diesel. Mesin berbahan bakar solar yang lambat panas tapi bisa melesat secara luar biasa jika level panasnya sudah tercapai.
Julukan lain, tentu saja, spesialis turnamen. Dan orang-orang Jerman agaknya bangga dengan julukan terakhir ini. Untuknya, mereka punya kosa kata sendiri, Turniermannschaft.
Euro 2016 Perancis sedikit banyak mirip Euro 1992 Swedia dan Euro 1996 Inggris. Jerman melaju ke babak utama dengan dominasi yang kental di fase kualifikasi.
Sepuluh laga dilewati dengan tujuh kemenangan, satu kali imbang dan menelan dua kekalahan. Jerman diunggulkan sebagai juara. Rumah-rumah taruhan terkemuka di Eropa mengunggulkan mereka di peringkat teratas, bersama juara bertahan Spanyol dan tuan rumah Perancis.
Tapi Joachim Loew mencoba "kalem". Bilangnya, meski memiliki pemain-pemain yang sedang berada dalam puncak performa, mereka perlu sangat berhati-hati.
"Saya sudah menjadi pelatih (Jerman) dalam kurun waktu yang lama. Kami pernah gagal tapi juga pernah berhasil. Sekali kemenangan itu datang, maka perasaan itu akan melekat lama. Begitu pula dengan keyakinan diri. Kami menyelesaikan kualifikasi dengan bagus dan datang ke sini (Perancis) dengan optimistis. Kami memiliki semua modal untuk melakukannya. Tapi saya selalu ingatkan pada seluruh pemain, bahwa kontestan-kontestan Euro adalah yang terbaik. Seperti kami, mereka juga melalui kualifikasi dengan baik untuk bisa sampai di sini. Beberapa tim bahkan lebih baik dari kami," katanya pada eurosports.