Tetapi,di usia 29 tahun itulah titik balik sang megabintang, permainannya berubah, ia tidak lagi menjadi pemain dengan daya ledak atau sprint dalam 90 menit, permainannya mengandalkan efektifitas menendang dan penempatan posisi.
Ronaldo tidak lagi memaksakan dribble dalam pertandingan, yang ia lakukan adalah menempatkan posisi terbaik untuk menerima umpan dari rekan-rekannya.
Buktinya, dilansir dari Opta, sebelum cidera Ronaldo pada Mei 2014, setidaknya Ronaldo melakukan 10 kali dribble yang menghasilkan gol dalam 18 laga.
Setelah cidera ia hanya mencatatkan 2 dribble yang menghasilkan gol, ini tidak lepas dari perubahan cara bermain sang penyerang.
Tetapi, permainan inilah yang membuat Ronaldo masih menjadi mesin gol bagi Real Madrid sebelum hengkang ke Juventus, karena meskipun mengurangi cara berlari, ia menggunakan postur tubuh dan efektiftasnya dalam menyelesaikan peluang dengan baik.
Cideranya sempat membuatnya berpikir untuk pensiun usai gelaran Euro 2016.
Pada Euro 2016, Portugal melaju ke final menghadapi Prancis, Ronaldo dipasangkan di depan dengan Quaresma, namun petaka terjadi.
Sentuhan kaki kanan Payet kepada lutut Ronaldo membuatnya mengerang kesakitan, yang mengejutkan lagi, Ronaldo tidak mampu menyelesaikan laga karena cideranya.
Beruntung, Portugal sukses meraih gelar juara usai mengalahkan Prancis dengan skor tipis 1-0.
Cideranya kambuh dan bahkan kabar berhembus, bahwa dirinya akan pensiun dini karena cidera tersebut.
Tetapi disiplinnya seorang Ronaldo membuatnya masih bisa bermain apik hingga hari ini, bahkan masih menghasilkan beberapa gol cantik bagi Juventus.
Cidera Ronaldo memang tidak bisa disembuhkan dan bisa saja berakibat fatal dikemudian hari,tetapi Ronaldo membuktikan kualitasnya sebagai pesepakbola dengan tekat dan detriminasi yang tinggi.
(Tribunnews.com/Gigih)