Unity in diversity.
Yang aku heran, apa-apa dijadikan perdebatan.
Seperti ritual medsos tahunan, mulai dari ucapan natal, perayaan valentine, bahkan juga jumlah peserta unjuk rasa!
Diri ini merasa lebih baik karena pihak lain terlihat lebih buruk.
Kita merasa senang atas ketidakbaikan orang.
Tuhan mana yang mendukung karakter seperti itu?
Padahal, this too shall pass.
Semua hal pasti akan berlalu sendiri silih berganti.
10 tahun lagi, apakah yang kita pertengkarkan ini lebih berharga daripada hubungan baik kita?
Padahal, kata "musuh" hanyalah ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri.
Tuhan tidak mengatakan bahwa Ia hanya dekat dengan pembuluh nadi orang beragama X dan bersuku Y, Tuhan dekat dengan pembuluh nadi semua orang.
Sudah lupa, ya?
Yang aneh adalah, jika tidak pro pokoknya salah! Kontra salah, netral pun juga disalahkan.
Tidak ada hal lain yang ditunjukkan kecuali sifat kekanak-kanakan.
Boikot terhadap produk perusahaan raksasa tidak akan berpengaruh sedikitpun pada owner-owner atas yang sudah kaya raya, yang kalian bahayakan adalah penjual-penjual kecil yang masih bingung cari makan tiap harinya, yang mereka bahkan tidak tahu apa-apa tentang kebijakan perusahaan.
Ada sebuah peribahasa Cina yang layak untuk kita renungkan. "Menyimpan dendam seperti meminum racun tapi berharap orang lain yang mati."
Buddha pun berkata, "Anda tidak dihukum KARENA kemarahan Anda, Anda dihukum OLEH kemarahan Anda."
Jika tetap tidak bisa mengendalikan kemarahan? DIAM!
Setidaknya kemarahan kita tidak akan menjadi sebab kemarahan orang lain.
“Barangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501)
Dan aku tahu,
Memang ada saatnya memproteksi diri. Ada saatnya mempertahankan kenyamanan pribadi.
Tapi bagiku, ada juga saatnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Karena itu, aku tidak akan pergi dari sini :) - Afi N.F. (*)