Pertama, ada potensi 90% data di Indonesia akan lari ke luar wilayah Indonesia, ini akan berimplikasi besar dari aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM Indonesia di era ekonomi data, mengingat sampai saat ini Indonesia belum mempunyai aturan perlindungan data yang memadai.
Baca: Tokoh Maluku: Erick Thohir Tak Sukses Pimpin TKN karena Gagal Menangkan Jokowi- Amin Secara Absolut
"Ini adalah sebuah kemunduran besar bagi negara Indonesia, disaat negara maju menerapkan perlindungan data di negaranya secara ketat seperti Uni Eropa lewat aturan EU GDPR, kita malah melakukan relaksasi tanpa perlindungan sama sekali," tegas Kristiono.
Kedua, Dengan memperbolehkan data Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat memproses dan menyimpan data di luar wilayah Indonesia, maka penyedia layanan pusat data (data center), cloud computing, OTT (Over The TOP) asing tidak lagi berkewajiban melakukan investasi di Indonesia karena mereka sudah bisa melayani masyarakat Indonesia diluar wilayah Indonesia, dan ini sangat merugikan secara ekonomi.
Ketiga, penegakan hukum akan mengalami kesulitan manakala proses penegakan hukum tersebut membutuhkan data yang tersimpan di luar wilayah Indonesia, karena masingmasing negara mempunyai aturan dan yuridiksinya masing-masing.
"Dengan berbagai alasan di atas, kami berharap Presiden Jokowi benar-benar bisa mewujudkan apa yang telah disampaikannya dalam sebuah pidato kenegaraan yang disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia," ujar Kristiono.
"Kami berharap Presiden tidak mengesahkan revisi PP PSTE sebelum diperbaiki sesuai dengan apa yang telah beliau janjikan kepada seluruh rakyatnya."
"Semoga dalam kabinet mendatang Presiden Jokowi bisa memilih para pembantu yang bisa mewujudkan visi yang sangat baik tersebut. Kami menunggu implementasi dari janji Presiden Jokowi untuk segera mewujudkan kedaulatan data tanpa kompromi," tegasnya.
Hendra Suryakusuma, Ketua Umum IDPRO mengatakan, isu PP-82 adalah masalah kedaulatan data, penegakan hukum, dan sekaligus jalan masuk persamaan perlakuan dalam pajak.
"Isu ini mestinya pemerintah-lah yang lebih concern menjaganya. Ini kebalik, asosiasi dan komunitas yang malah concern dan berulangkali mengingatkan Pemerintah," tegasnya.
Karena itu, IDPRO mendesak Pemerintah menunda pengesahan draft tersebut karena mayoritas komunitas TIK di Indonesia belum sepakat dengan draft isi tersebut.
"Isi revisi masih banyak yang perlu diperbaiki karena sebenarnya revisi PP 82/2012 bisa menjadi jalan masuk untuk memperbaiki ekosistem ekonomi digital di Indonesia," tandas Hendra Suryakusuma.
Andi Budimansyah, Ketua Umum FTII juga menilai, revisi PP 82 justru menutup kesempatan bagi warga negaranya untuk mendapatkan perlindungan data.
"Kedaulatan negara sangat dipertaruhkan apabila revisi PP 82/2012 diundangkan tanpa kita memiliki regulasi perlindungan data yang memadai,” ungkap Andi Budimansyah.
Djarot Subiantoro, Ketua Umum ASPILUKI mengatakan, asosiasinya tidak anti perubahan, karena perubahanlah yang akan membawa kemajuan.
Bamun dia mengingatkan, substansi perubahan yang di awal sudah diketahui akan memberikan dampak negatif secara jangka panjang dan skala lebih besar-lah yang sebaiknya kita hindari.
"Semoga draft PP 82 ini dapat dikaji dahulu dari perspektif dan kepentingan lebih besar sebelum diputuskan, yang kami tidak rasakan dalam proses revisi PP 82 kali ini,” ujar Djarot Subiantoro.