“Lebih mudah lagi jika korban pernah install aplikasi seperti fintech ilegal. Semua data bisa diambil oleh fintech tersebut."
"Bahkan data IMEI, operator yang digunakan jejak kunjungan, daftar kontak dan bahkan chat kita di media sosial bisa didapatkan dengan mudah oleh orang yang tak bertanggung jawab tersebut," ujarnya.
"Saya lihat data yang ditampilkan itu masih terlalu umum. Justru kesan yang saya tangkap dari yang ditampilkan itu merupakan data yang rapih dan jadi yang diperuntukkan untuk tujuan tertentu. Padahal data yang dimiliki operator hanya data teknis yang terkait telekomunikasi,” beber Ruby.
Dari pengalaman yang dimiliki Ruby, jika data yang berasal dari operator, akan lebih kompleks dan rumit. Data tersebut sejatinya tidak dibutuhkan oleh orang awam yang tidak memiliki kebutuhan teknis telekomunikasi.
Misalnya, untuk lokasi, data yang dimiliki operator hanya koordinat. Bukan alamat lengkap. Sedangkan gambar yang beredar di media sosial yang diduga berasal dari pelaku merupakan data sangat umum.
“Yang membuat cukup pintar. Bisa memanipulasi dan menggabungkan beberapa data yang selama ini sudah bocor terlebih dahulu dan dibuat seolah-olah data teknis yang berasal dari server tertentu. Padahal itu bukan. Latar belakang hitam atau hijau bisa dibuat dengan mudah,”ungkap Ruby.
Agar masyarakat terhindar dari penyalahgunaan data pribadi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, ahli digital forensik ini menyarankan agar masyarakat bijak menggunakan sosial media.
Jika ingin memposting di media sosial, pastikan konten tersebut bukan termasuk dalam ranah pribadi. Jangan pernah mencantumkan data pribadi kita di sosial media.
“Justru kita bangga jika kita memposting di media sosial lokasi kita dan jenis HP yang kita pergunakan dalam foto yang akan kita posting. Itu merupakan kesalahan yang fatal yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menggunakan data pribadi kita,”jelas Ruby.
Saran Ruby selanjutnya, ketika hendak memposting foto di media sosial, disarankan foto dan dokumen tersebut di convert. Tujuannya untuk mengubah meta yang ada di foto atau dokumen tersebut.
Jadi foto dan dokumen yang dikirimkan ke media sosial tersebut bukan asli dari ponsel.
Jika asli dari HP maka meta data yang terdapat informasi seperti lokasi, jenis ponsel, software yang dipakai, operator yang dipergunakan dan berapa mega pixel kamera yang dipergunakan, dapat dengan mudah untuk dibaca.
“Para pihak yang tak bertanggung jawab dapat melihat meta data dari foto yang kita up load di sosial media dengan sangat mudah. Jadi kalau mau memposting foto pastikan meta data berubah. Ketika kita mengirim foto melalui FB dan WA, semua data tersebut sudah hilang. Karena WA dan FB melakukan perubahan sehingga bukan foto asli yang ditampilkan,”ungkap Ruby.
Ruby juga menyarankan agar pemerintah dapat segera menyelesaikan RUU Perlindungan Data Pribadi. Dengan adanya UU Perlindungan Data Pribadi, penegakkan hukum akan lebih tepat.
Sehingga dapat membuat jera para pelaku pencurian data pribadi. Saat ini Indonesia hanya memiliki UU ITE. Dalam UU ITE, pencurian data pribadi melalui penyelenggara transaksi elektronik hanya delik aduan.
“Karena delik aduan, maka tidak ada lembaga yang mau melaporkan pencurian data pribadi pelanggannya ke polisi. Lapor ke polisi berarti mengakui adanya data bocor,” ujarnya.