Pembuatan produk ini merupakan jawaban atas tantangan dan peluang dalam pengembangan aksara Bali.
“Bukan hanya untuk orang-orang yang tinggal di Bali, mereka yang berada di luar Bali pun dapat belajar aksara Bali," ungkapnya.
Meskipun ada tantangan bahwa generasi muda Bali lebih menyukai bahasa Indonesia dan aksara Latin, pembuatan papan ketik dapat memberi peluang bagi siapa pun yang mau belajar aksara Bali.
Menurutnya, hal ini merupakan upaya agar komputer bisa mengenali teks beraksara Bali sehingga menghasilkan informasi yang tepat bagi pengguna.
Sarah Anais Andrieu dari EHESS/CNRS Paris di webinar ini menekankan pentingnya menjadikan akar budaya menjadi sumber daya yang bisa dimanfaatkan oleh generasi sekarang.
Budaya di dunia digital harus memiliki nilai agar dapat dijaga, dipegang, dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan warisan budaya tersebut.
Baca juga: Data Exabytes & PANDI Sebut Website Sekolah Meningkat 168 Persen Meski di Era Pandemi
“Agar tidak hilang, budaya semestinya hadir dalam siber-fisik. Digitalisasi akan menjadi medium untuk adaptasi, bagaimana aksara yang sudah jarang dipakai bisa muncul kembali dan menjadi tren di dunia digital," ujar Sarah.
"Hal ini dapat memperluas ruang bagi budaya dan bahasa. Dengan menjadikan akar sebagai sumber daya, maka akan ada penangkapan adaptasi baru, pertukaran informasi, juga kreasi dan inovasi untuk aksara tersebut.
Ilham Nurwansah memaparkan berbagai tantangan pengembangan aksara Nusantara dalam format digital.
“Dalam pengembangan aksara di dunia digital masih ada kendala karena belum semua aksara tampil dengan baik dalam berbagai aplikasi. Hal ini karena belum ada keseragaman atau standar dari aksara tersebut,” kata Ilham.
Mayastria Yektiningtyas dari Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyatakan, pihaknya telah mengupayakan Persetujuan usulan program Nasional Perumusan Standar (PNPS) untuk beberapa aksara nusantara sebagai kebutuhan mendesak di 2021.
“Kita banyak budaya, tapi tidak didokumentasikan. Jadi ini sebagai salah satu dokumentasi nasional," ujar Mayastria.
"Di ISO internasional misalnya ada aksara Bali, tapi tidak ada keterangan bahwa itu aksara milik Indonesia. Agar menjadi milik Indonesia, maka harus tertuang dalam standar nasional Indonesia, selain untuk kebutuhan digitalisasi,” kata Mayastria.
Heru Nugroho yang menjadi moderator webinar menyatakan, selama ini, aksara nusantara atau aksara daerah selalu dipandang sebagai sesuatu yang harus dilestarikan, dilindungi dan dijaga dari kepunahan.
“Dalam dua tahun ini, PANDI melalui program bertajuk Merajut Indonesia melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN), masih mengedepankan pelestarian aksara," ungkapnya.
"Mulai saat ini, paradigma tersebut akan ditujukan pada upaya penerapan dan pemanfaatan, yaitu bagaimana agar aksara nusantara ikut berperan dalam kemajuan teknologi, terutama di era industri 4.0,” ujar Heru Nugroho.