Mereka mengutip laporan Reuters pada 2013 silam soal postingan ujaran kebencian terhadap Rohingya di Facebook yang menyatakan: "Kita harus melawan mereka seperti yang dilakukan Hitler terhadap orang-orang Yahudi."
Postingan lainnya mengatakan: "Tuangkan bahan bakar dan nyalakan agar mereka dapat bertemu Allah lebih cepat."
Facebook memiliki lebih dari 20 juta pengguna di Myanmar.
Media sosial ini menjadi cara utama atau satu-satunya untuk mendapatkan dan berbagi berita.
Pada 2018 lalu, Facebook mengaku bahwa pihaknya tidak cukup bisa mencegah hasutan kekerasan dan ujaran kebencian terhadap Rohingya.
Rohingya dianggap sebagai migran ilegal di Myanmar.
Etnis minoritas ini bahkan mendapat diskriminasi dari pemerintah dan publik selama beberapa dekade.
Pada 2017, militer Myanmar melancarkan tindakan keras di negara bagian Rakhine setelah militan Rohingya melakukan serangan mematikan terhadap pos polisi.
Ribuan orang tewas dan lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Kebakaran kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh (Aljazeera, Shafiqur Rahman/AP)
Militer Myanmar diyakini melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk pembunuhan sewenang-wenang, pemerkosaan, dan pembakaran tanah.
Pada 2018, PBB menuduh Facebook "lambat dan tidak efektif" dalam menanggapi penyebaran kebencian secara online.
Di bawah hukum AS, Facebook sebagian besar dilindungi dari kewajiban atas konten yang diposting oleh penggunanya.
Namun gugatan baru itu berpendapat bahwa hukum Myanmar, yang tidak memiliki perlindungan seperti itu, harus menang dalam kasus ini.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)