Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyebutkan, ekonomi digital di Asia Tenggara (ASEAN) tumbuh lebih cepat dari perkiraan yang mencapai 200 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Cepatnya pertumbuhan ekonomi digital tersebut sejalan dengan adopsi digital yang berkembang secara masif di kawasan regional ini.
"Memang kenaikan pengguna internet yang sangat cepat dan masif ini sebagai pendongkrak ekonomi digital," ujar dia melalui risetnya, Rabu (2/11/2022).
Baca juga: Ekonomi Digital RI Berpotensi Jadi Raja ASEAN, Erick Thohir Dorong Generasi Muda Ikut Berkontribusi
Adopsi digital yang semakin matang, memungkinkan para pemainnya untuk lebih melakukan pendalaman mengenai prilaku penggunaan untuk melihat ruang pertumbuhan, yakni mengubah arah dari akuisisi pelanggan baru menjadi keterlibatan lebih dalam dengan pelanggan yang sudah ada.
Nico mengungkapkan, Indonesia mengalami pertumbuhan pesat tahun ini yang terefleksi dari capaian transaksi 77 miliar dolar AS atau sekira Rp 1,2 kuadriliun dengan kenaikan GMV sebesar 22 persen secara tahunan.
Ekonomi Indonesia pun diproyeksi mencapai 130 miliar dolar AS pada tahun 2025 dengan pendorong utama dari bidang e-commerce.
"Lebih jauh, perusahaan rintisan atau yang biasa dikenal dengan startup dalam negeri pun terus mengalami perkembangan. Hal ini tercermin dari Indonesia yang masuk dalam ranking ke-5 dunia dengan memiliki jumlah startup terbanyak yaitu 2.346," kata Nico.
Bahkan, Indonesia juga menjadi negara yang menerima funding terbanyak di antara negara lain dan diproyeksikan akan tetap menjadi yang tertinggi di tahun 2025, menurut riset yang dilakukan Google, Temasek dan Brain & Co.
"Laju bisnis startup saat ini ditopang oleh pengembangan ekosistem. Bahkan, kami melihat perusahaan e-commerce yang mampu menguasai pangsa pasar yang lebih besar yaitu yang memiliki ekosistem yang kuat," tutur dia.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Digital 2025 Diproyeksi 150 Miliar Dolar AS, Peluang UMKM Parekraf Cukup Besar
Integrasi bisnis yang saling melengkapi dan terdiversifikasi di mana menjawab kebutuhan masyarakat yang dapat menjadi pilihan menimbang kemudahan dan user experience yang baik.
Hanya saja, di setiap kesempatan akan selalu di sertai dengan hambatan yakni kenaikan suku bunga agresif yang meningkatkan cost of fund perusahaan.
Sebagaimana startup juga menggantungkan diri pada pendanaan di pasar uang dan potensi perlambatan ekonomi yang membuat perusahaan investasi lebih waspada bahkan cenderung menahan investasinya pada startup.
Di samping itu, Nico menambahkan, fenomena startup bubble saat puncak pandemi di mana fase awal lay-off dilakukan dalam jumlah besar imbas dari ketergantungan startup terhadap pendanaan dari venture capital.
Bahkan, di tengah ancaman risiko perlambatan ekonomi global yang berpotensi memicu sejumlah krisis seperti krisis energi, krisis pangan dan krisis keuangan, sejumlah startup kembali melakukan lay-off untuk mempersiapkan diri dan melakukan efisiensi.
"Startup pun berusaha mencari alternatif pendanaan di pasar modal melalui IPO," katanya.