Waktu itu, ada beberapa orang ulama menyerahkan kitab tersebut ke museum ini.
Entah mereka mendapatkannya dari mana, yang jelas mereka kemudian menyerahkannya ke museum ini untuk dikoleksi.
Sebagai imbalannya, mereka hanya meminta dibelikan tiket pesawat Banjarmasin-Yogyakarta untuk menghadiri musyawarah Majelis Ulama Indonesia di Kota Gudeg tersebut.
"Kira-kira begitu ceritanya dari para senior saya yang dulu bekerja di museum ini," ujarnya.
Kemungkinan besar, kitab langka ini dulu dibuat dalam Bahasa Melayu dan beraksara Arab Melayu untuk menarik minat warga Kalimantan Selatan.
Dulu, orang-orang Banjar yang berdiam di provinsi ini kebanyakan beragama Islam dan kerap menulis serta membaca menggunakan aksara Arab dan Arab Melayu atau istilah Bahasa Banjarnya, Arab Gundul.
"Kemungkinan ini untuk sarana dakwah para pendeta Kristen di sini pada masa lalu. Makanya dibuat begini agar warga mengerti," katanya.
Saking berharganya, kitab Injil kuno ini dulu pernah hendak diganti rugi oleh seorang pendeta, namun pihak museum tidak mengizinkan.
Alasannya, karena ini naskah langka dan unik karena berbahasa Melayu dan beraksara Arab Melayu yang mungkin tidak ada di daerah lain.
Selanjutnya, ada lagi kitab unik dan kuno lainnya, yaitu Kitab Sabilal Muhtadin.
Kitab Sabilal Muhtadin di Museum Lambung Mangkurat, Jalan Ahmad Yani Km 36, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)
Warga Kalimantan Selatan jika mendengar nama ini tentunya sudah tak asing lagi karena nama kitab ini dijadikan nama masjid raya terkenal di Kalimantan Selatan, yaitu Masjid Raya Sabilal Muhtadin di Banjarmasin.
Kitab ini usianya sudah sangat tua, yaitu 236 tahun dan tebal sekali.
Isinya adalah penjabaran hukum-hukum fikih Islam bermazhab Imam Syafi'i yang ditulis oleh ulama kharismatik dan legendaris Banjar di masa lalu, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Albanjari.
Menurut sejarahnya, kitab ini dulu ditulis pada 1779 masehi atau sekitar 1193 hijriyah dan kerap menjadi rujukan bagi para pemeluk Islam di Asia Tenggara.