Laporan Wartawan Tribun Kaltim/Cornel Dimas
TRIBUNNEWS.COM, MUARA WAHAU - Alunan gong dan tabuhan gendang malam itu menggema di Desa Dea Beq, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.
Dari hulu ujung kampung, para penari berlenggak-lenggok memasuki lapangan balai desa.
Saat itu lapangan balai desa Dea Beq merupakan titik kumpul penyelenggaraan Erau Bobjengea masyarakat Dayak Wehea.
Para penari terdiri dari, sesepuh, orang tua, hingga anak-anak yang turut memeriahkan lapangan dengan gerak tubuhnya.
Para penari menampilkan jenis tarian yang disebut Tumbambataq, Jiak Keleng, dan Ngewai.
Tarian Tumbambataq. (Tribun Kaltim/Cornel Dimas)
Kepala Adat Dayak Wehea, Helaq Tot mengungkapkan tarian tersebut sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan masyarakat Dayak Wehea atas panen padi.
“Gerakan kaki kanan ke depan satu langkah, putar setengah badan, lalu balas kaki kiri maju satu langkah dan putarkan setengah badan, posisi tangan dan kepala menirukan gerak burung,” ujarnya.
Perlengkapan tari haruslah menggunakan pakaian adat lengkap.
Laki-laki menggunakan Kehpai, yakni baju adat yang bermotif batik lengan panjang, tapi berukuran setengah badan.
Ujung lengan dan bawahnya bermotif setrip yang warnanya berbeda dari baju.
”Biasanya yang dipakai itu yang cerah, seperti merah, kuning, biru tua, dan lain-lain. Misalnya, baju utama warnanya merah, nanti ujung lengan dan badannya berwarna kuning dan biru,” ungkap Helaq Tot.
Untuk bawahan sendiri menyerupai sarung yang disebut Kewing.
Warnanya hitam dihiasi motif ukiran tribal khas Dayak Wehea yang ujung bawahnya berumbai-rumbai.