Jalanan sempit dan mendaki terjal serta aspal jalan yang rusak membuat mobil sewaan kami menderu-deru untuk sampai ke air terjun.
Setiap kali berpapasan dengan mobil lain, pengemudi terpaksa bergilir untuk lewat.
Namun, sepanjang perjalanan pandangan, kami banyak terhalang oleh rumah-rumah penduduk yang begitu padat.
Kami hanya bisa sesekali menyaksikan lembah-lembah di bawah sana dari celah antar-rumah.
Pintu masuk menuju lokasi Curug Cigamea pun berada di sela-sela rumah warga Desa Gunungsari, tempat air terjun itu berada.
Dari pelataran parkir yang disediakan, kami menuruni anak tangga curam yang dibangun warga dari batu-batu alam.
Di beberapa lokasi tampak pepohonan habitat monyet ekor panjang. Di sana, monyet berkeliaran liar dan mendekati pengunjung yang melintasi daerah mereka.
Di Cigamea terdapat dua air terjun yang menggerus dua tebing berbeda, salah satunya tebing berwarna kuning kecoklatan.
Warga menyebutnya dengan nama Air Terjun Cimudal.
Tidak jauh dari sana, lanjutnya, terdapat empat air terjun lain, tetapi masih sulit dicapai karena akses belum memadai.
Kampung budaya
Di lereng Gunung Salak juga terdapat area pelestarian budaya yang disebut Kampung Budaya Sindangbarang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.
Kampung ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kota Bogor, hanya berjarak sekitar 5 kilometer.
Sebelum ke kampung budaya, kami sempat mampir di Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, yaitu pura terbesar di luar Pulau Bali.