Riwayat Gampong Pande
Dalam ‘kacamata’ sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, sesuatu baru bisa dikatakan sejarah apabila tercatat (mempunyai dokumen).
Terkait dengan keberadaan Gampong Pande, menurut dia, banyak cerita rakyat yang kini berkembang menjadi legenda hidup.
Walaupun berakar dari fakta, namun tidak sedikit yang dibumbui untuk menambah gurih cerita.
Masyarakat yang berdiam di situ pun menganggapnya sebagai kebenaran sejarah.
“Dinamai Gampong Pande karena warganya pandai bertukang. Selain itu ada juga warga Turki yang berdiam di perkampungan Turki di Aceh yaitu Emperom yang pandai bertukang dan bekerja ke Gampong Pande. Empe sama dengan empu dalam bahasa Jawa yang berarti ahli pertukangan,” kata Rusdi.
Rusdi Sufi memaparkan hubungan Turki dengan Aceh sudah terjalin sejak abad ke-16 yaitu pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar.
Kerajaan Turki Utsmani membantu Aceh dengan peralatan perang berupa meriam dalam melawan Portugis yang masuk melalui Selat Malaka.
Sementara kisah Putro Ijo maupun Putro Neng, masih berbau legenda atau hanya cerita rakyat.
Pemeliharan Situs Sejarah
Selain menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya, menurut Rusdi, pemerintah juga harus membuat aturan untuk melindungi benda-benda peninggalan sejarah dengan cara menyosialisasikan UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tersebut, serta memberi jerih kepada penemunya agar benda tersebut bisa dikembalikan ke negara.
“Baru-baru ini ditemukan peta Aceh di Rio De Jenairo Brasil, umurnya sudah sangat tua. Untuk itu perlu adanya penelitian arkeologis terkait dengan hal itu, begitu juga halnya dengan situs-situs Gampong Pande. Di situ sepatutnya dibangun museum seperti Museum Trowulan Mojekerto Jawa Timur yang merupakan jejak Kerajaan Majapahit,” kata Rusdi.
Wajah Gampong Pande Masa Kini
Saat ini desa yang dikelilingi tambak itu dihuni sekitar 200-an kepala keluaraga dengan areal seluas 180 hektare.