Bahkan belum lama ini, Jepang meminta PTPN VII yang mengelola perkebunan teh ini mengirim 1.000 ton per tahun ke negeri "Matahari Terbit" itu.
Teh Hitam Pagalaram, Sumsel.
Manajer PTPN VII Perkebunan Teh Gunung Dempo, Daniel Solihin didampingi Humas PTPN VII Sugianto mengatakan pihak Jepang memang sudah lama menginginkan teh hitam hasil produksi PTPN VII di Pagaralam.
Namun karena pengelolaan masih menggunakan mesin ortodok peninggalan Belanda, permintaan itu belum bisa dipenuhi.
"Sekarang kita sudah siap. Kita sudah punya mesin baru, Curling Tiring Cuting (CTC) yang bisa memproduksi teh lebih cepat," kata Daniel.
Menurut dia, PTPN VII satu-satunya perusahaan yang memiliki mesin CTC di Indonesia.
Dengan mesin ini, proses pembuatan teh lebih terjamin kualitas dan kebersihannya.
Selain itu, lebih hemat tenaga karena cuma butuh enam pekerja saja.
Menggunakan mesin CTC, dalam satu kilogram daun teh bisa menghasilkan 400 gelas.
Sementara mesin ortodok hanya mampu 100 gelas.
Untuk Jepang saja, PTPN VII harus menyiapkan setidaknya tiga ton per hari. Belum melayani permintaan dari negara-negara lain.
Seorang karyawan PTPN VII Pagaralam menunjukkan contoh beberapa jenis teh yang dihasilkan dari perkebunan teh di Kota Pagaralam
Ia menjelaskan, dari lima jenis teh Gunung Dempo yang dihasilkan, Jepang minta dua jenis dengan kualitas terbaik.
"Sebenarnya harga teh tidak bisa bersaing karena teh luar juga masuk ke Indonesia seperti Srilangka dan India yang merupakan saingan terbesar. Tapi dengan kerjasama ini, mudah-mudahan harga teh kita lebih baik," ujar Daniel.
Harga jual teh hasil produksi PTPN VII bervariasi.
Teh yang diolah menggunakan mesin CTC dibandrol US 3 dolar dan Jepang berani membeli 6 dolar per kilogram.