Mesin 9 PK yang kami gunakan mengantar ke Pulau Siumat selama empat jam, waktu yang sungguh lama ketimbang menggunakan perahu besar dengan mesin yang juga lebih besar.
Kami baru saja sandar di Ulul Kaut ketika matahari pagi mulai tampak.
Nelayan pancing sudah sejak subuh tadi melaut, meninggalkan anak-anak mereka yang asyik berjungkir balik di pelabuhan itu.
Arisman, kelas 1 SMP memandu adik-adiknya bercengkrama dengan air laut yang jernih.
Pantulan sinar matahari membakar tubuh mereka sejak bayi. Mandi pagi di ulul kaut merupakan rutinitas mereka sebelum menyiapkan diri berangkat sekolah.
"Kami biasa mandi di sini. Setelah itu, baru bilas dan pakai baju di rumah," katanya.
Sampan-sampan kecil lainnya mulai merapat.
Mereka adalah para pemetik cengkeh. Tapi saya masih asik dengan keceriaan pagi Arisman dan adik-adik sekampungnya.
Dia menaiki sampan lebih kecil tanpa lengan cadik. Sampan itu seolah tenggelam oleh riak laut.
Sebentar kemudian, sampan itu sudah muncul lagi ke permukaan.
Puas bermain, anak-anak bergegas membilas tubuh mereka di pemandiam umum yang berada dekat pelabuhan kecil itu.
"Mandi tak perlu pakai sabun. Sabun mahal," kata Arisman singkat.
Sebuah sampan kecil tampak di tengah. Dari cara melajunya, sampan itu persis menuju ulul Kaut.
Edi, mendayung dengan santai. Saya dan Ogek menunggu kedatangan pria ini.