Laporan wartawan Tribun Medan, Silfa Humairah
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Sosok pahlawan nasional Sisingamangaraja asal Sumatera Utara merupakan pahlawan yang cukup memiliki peran penting pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Oleh sebab itu patungnya pun yang berada di Jalan Sisingamangaraja menjadi ikon kota Medan.
Pedagang kaki lima yang berjualan tidak beraturan dan pepohonan palem yang tinggi menjulang menutupi pemandangan monumen tersebut. (Tribun Medan/Silfa)
Selain patung, namanya juga diabadikan pada nama jalan yang berada di pusat kota Medan.
Kalau ke kota Medan, rasanya ada yang kurang kalau belum berfoto di monumen tersebut.
Jika anda hidup di tahun 80 an hingga 2000 an, mungkin sempat melihat wajahnya menghiasi uang kertas Rp 1000.
Sosok ini dikenal dengan wajahnya yang berjambang tersambung dengan janggut, serta dengan pakaian adat setengah badan dan ikat kepala khas Batak.
Sisingamangaraja XII lahir pada tahun 1849 di Bahkara.
Daerah tersebut merupakan tempat indah di tepian Danau Toba yang memiliki nama kecil patuan bosar gelar Onpu Pulo Batu.
Nama "Sisingamangaraja XII sendiri berasal dari bahasa sanskerta yaitu "singa" dan "mangaraja". Pada saat usianya baru 19 tahun ia dinobatkan menjadi raja. Ia pun dikenal sebagai sosok raja yang muda tapi bijaksana dan pemberani.
Untuk melawan Belanda, Sisingamangaraja XII menjalin kerjasama persekutuan dengan beberapa suku di Aceh dan kerajaan aceh serta dengan kerajaan Minangkabau.
Berkat jalinan kerjasama persekutuan ini lah yang menyebabkan Aceh dan tanah Batak sulit ditaklukkan Belanda.
Sisingamangaraja XII dikenal sebagai sosok yang anti perbudakan dan penindasan. Ia sangat menghargai hak kemerdekaan hidup maka dari itu ia berjuang menentang penindasan Belanda di Indonesia.
Untuk menghormati perjuangan Raja Sisingamangaraja XII, tahun 1979 dibangun Monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di Kota Medan.
Selain itu, beberapa universitas menggunakan namanya, yaitu, Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan (1984), Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara (1986), dan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan (1987).
Namun penghormatan itu sepertinya sudah mulai luntur, pasalnya pemerintah mau pun masyarakat setempat tidak menjaga lingkungan sekitar patung.
Taman indah yang memiliki contoh rumah adat Toba dan Patung Sisingamangaraja tersebut dipagari dan digembok.
Sehingga pengunjung atau wisatawan yang ingin lebih tahu mengenai ukiran dan corak rumah adat serta patung Sisingamangaraja sedikit terhambat jarak.
Wisatawan hanya bisa berfoto dari jauh, itu pun ketutupan pagar dan pohon besar untuk mendokumentasikan ikon kota Medan tersebut.
Belum lagi pedagang kaki lima yang berjualan tidak beraturan dan pepohonan palem yang tinggi menjulang semakin menutupi pemandangan monumen tersebut.
Sejarawan Kota Medan, yang juga Dosen Sejarah di Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, menuturkan kesadaran masyarakat terhadap monumen nasional khususnya sejarah atau perjuangan pahlawan sangat kurang.
Padahal, seharusnya monumen yang merupakan ikon Kota Medan tersebut menjadi kebanggaan yang harusnya dijaga bersama di dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar ikon dalam buku saja.
Ini merupakan peran pemerintah dan masyarakat untuk menghidupkan kembali ikon kota Medan tersebut. "Unik loh, ada contoh rumah adat Batak yang kaya akan corak terlukis di sana.
Belum lagi patung Sisingamangaraja yang berdiri kokoh, Sisingamangaraja terlihat menaiki kuda sambil mengangkat tongkatnya. Tentu itu punya makna dan bukan sekadar patung biasa," jelasnya.
Anita Tania, pengunjung, menuturkan kesulitan mendokumentasikan patung dan rumah adat khas Batak yang ada di Jalan Sisingamangaraja.
Ia datang dari Riau dan ingin mendokumentasikan diri bersama patung Sisingamangaraja, untuk kenang-kenangan.
"Mungkin kalau pepohonannya ditebang rapi dan tamannya tidak digembok, mungkin akan ramai wisatawan yang berkunjung dan bisa berfoto ria," jelasnya.