Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Gunungon merupakan simbol dan kekuatan cinta Sultan Iskandar Muda kepada sang permaisuri cantik nan jelita dari Kerajaan Pahang, Malaysia.
Alkisah sang putri yang dikenal dengan nama Putroe Phang sering merasa kesepian di tengah kesibukan suaminya selaku raja.
Kenangan semasa di kampung halamannya di Pahang selalu terbayang di pelupuk mata.
Sang sultan yang memahami kegundahan permaisurinya lantas membangun sebuah gunung kecil (Gunongan) sebagai miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putroe Phang di Pahang.
Betapa bahagianya sang putri dari Pahang itu mendapat persembahan cinta dari sang sultan.
Ia pun terlena bermain dengan dayang-dayangnya. Keberadaan Gunongan tersebut mengobati kerinduannya akan kampung halaman.
Gunongan, simbol dan kekuatan cinta Sultan Iskandar Muda kepada Putroe Phang (Putri Pahang). (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
Bangunan berbentuk persegi enam, menyerupai bunga dan bertingkat tiga dengan tingkat utama berbentuk mahkota itu dibangun pada abad ke-16 (1607-1636).
Pada dindingnya ada sebuah pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci.
Dari lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan.
Taman Putroe Phang
Taman ini merupakan bagian dari persembahan Sultan Iskandar Muda kepada sang permaisuri dari Pahang, Malaysia.
Sebelumnya pada tahun 1613 dan tahun 1615 tentara laut dan darat Kerajaan Aceh Darussalam berhasil menaklukkan Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung Utara Melayu.
Sebagaimana tradisi pada masa itu, kerajaan yang kalah perang harus menyerahkan rampasan perang, upeti, dan pajak tahunan.
Termasuk juga menyerahkan putri kerajaan untuk diboyong sebagai tanda takluk.
Putri tersebut biasanya diperistri oleh raja guna mempererat hubungan dengan kerajaan yang ditaklukkan.
Sehingga kerajaan pemenang menjadi semakin besar dan semakin kuat pengaruhnya.
Akan halnya putri boyongan dari Pahang itu terkenal dengan parasnya yang rupawan serta budi bahasanya yang halus.
Hal itu lantas membuat pernikahan tidak lagi atas dasar alasan politis, karena Sultan Iskandar Muda benar-benar dibuat jatuh hati kepada sang putri Pahang.
Sang Sultan pun mempersuntingnya sebagai permaisuri.
Demi cintanya kepada sang putri, Sultan bersedia membangun sebuah Taman Sari yang sangat indah lengkap dengan Gunongan sebagai tempat menghibur diri sang putri.
Selain tempat bercengkerama, Gunongan juga digunakan sebagai tempat berganti pakaian permaisuri usai mandi di sungai yang mengalir di tengah-tengah istana.
Untuk menuju ke taman ini, sultan membangun sebuah pintu gerbang sebagai penghubung antara istana dengan Taman Ghairah (Taman Sari).
Pintu gerbang tersebut dikenal dengan nama pinto khop (pintu biram indrabangsa) yang bermakna, pintu mutiara keindraan atau raja-raja.
Memiliki ukuran dengan panjang 2 meter, lebar 3 meter, dan tinggi 3 meter dan terbuat dari bahan kapur.
Pinto khop (pintu biram indrabangsa), yaitu pintu mutiara raja-raja. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
Pintu gerbang itu diperuntukkan khusus untuk kalangan keluarga istana dan berada di Kompleks Taman Putroe Phang.
“Putri dari Pahang tersebut membawa pengaruh dalam pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam. Ia membuat aturan seperti dalam tatacara pernikahan maupun perniagaan,” ujar Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi.
Rusdi memaparkan selain Putri Pahang, Sultan Iskandar Muda juga mempersunting putri dari Kerajaan Bugis, Makassar serta putri dari Tanah Gayo, Aceh.
Pernikahan Sultan dengan putri Bugis melahirkan Ratu Safiatuddin, yang pada kemudian hari dinikahkan dengan putra dari Kerajaan Pahang yaitu Iskandar Tsani.
Sepeninggal sultan, Iskandar Tsani memimpin Kerajaan Aceh Darussalam dan kemudian setelah mangkat digantikan oleh istrinya, Ratu Safiatuddin.
Ia menjadi satu dari tiga perempuan yang pernah memimpin kerajaan selain Ratu Kamalat Syah dan Nurul A’la.
Sedangkan pernikahan Sultan dengan putri Gayo melahirkan Meurah Pupok, sang putra mahkota yang kemudian melanggar aturan agama dan mengembuskan napas terakhir di ujung pedang ayahandanya sendiri.
Sementara pernikahan sultan dengan Putri Pahang tidak membuahkan keturunan.
Lokasi
Baik Gunongan maupun Taman Putro Phang merupakan situs cagar budaya.
Pada dahulu kala keduanya masuk dalam kawasan Bustanussalatin yang artinya taman raja-raja kesultanan Aceh.
Luasnya hampir 1/3 Kuta Raja (sekarang Banda Aceh) dan dipisahkan oleh Krueng Daroy.
Krueng dalam bahasa lokal bermakna sungai.
Krueng Daroy merupakan sungai buatan serupa kanal yang membentang membelah Bustanussalatin.
Termasuk Taman Ghairah, Taman Putroe Phang, Pinto Khop, dan Gunongan.
Wajah Kuta Raja yang kini berganti nama dengan Banda Aceh menempatkan Taman Ghairah (Taman Sari) di sisi Jalan Abdullah Anjung Rimba, Taman Putro Phang dan Pinto Khop (satu kompleks) di Jalan Nyak Adam Kamil, dan Gunongan di sisi Jalan Teuku Umar.
Kesemuanya berada di jantung kota dan kondisinya masih terawat baik hingga sekarang.
Seperti halnya Sultan Iskandar Muda merawat dan menjaga hati sang Putri Pahang.