Laporan Wartawan Tribun Jateng, Raka F Pujangga
TRIBUNNEWS.COM, PEKALONGAN - Anda yang suka berpetualang dan menjelajah tempat baru, saat berkunjung ke Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, cobalah mampir ke Kecamatan Petungkriyono.
Kawasan yang berada di ketinggian 1.294 meter di atas permukaan laut (dpl) ini memiliki banyak objek wisata alam yang masih perawan.
Kesenian Jaran Kepang dimainkan di pelataran sebelum akses ke air terjun. (Tribun Jateng/Raka F Pujangga)
Kecamatan di lereng pegunungan Dieng sebelah utara itu memiliki suhu relatif dingin. Itu sebabnya, wilayah ini dijuluki Negeri di Atas Awan-nya Pekalongan. Jaraknya, sekitar 35 kilometer dari Kota Pekalongan dan 40 kilometer dari Dieng.
Menjelang sore, kabut sudah menutupi sebagian kecamatan yang berbatasan dengan Banjarnegara itu.
Pemukiman warga yang nampak di kejauhan pun terasa mengambang di atas awan.
Jalan menuju tempat ini berkelok dan menanjak. Meski begitu, keindahan panorama di sepanjang perjalanan membuat Anda tak akan bosan.
Bahkan, Anda bisa melihat Owa jawa (Hylobates moloch), primata berwarna abu abu dan tidak memiliki ekor. Owa jenis ini termasuk paling langka di dunia.
Owa jawa itu melompat dari satu dahan ke dahan pohon lain tanpa rasa takut meski berada di atas jurang berkedalaman lebih dari 20 meter.
Tentu saja, kelestariannya yang dilindungi pemerintah menambah daya tarik wisata alam di wilayah ini.
Petualangan bisa dimulai dari Desa Tlogopakis. Di desa ini teradapat Curug (air terjun) Banjing.
Keindahan air terjun setinggi sekitar 45 meter ini dinilai mampu menyaingi Grojogan Sewu di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Karena masih tahap eksplorasi, pengunjung yang datang tidak dipungut biaya masuk untuk menikmati keindahan air terjun tersebut. Namun, Anda harus menyiapkan fisik.
Akses ke air terjun belum dipaving alias masih berbentuk tanah merah. Baiknya, Anda memakai sepatu gunung berdaya cengkram kuat agar tidak mudah terpeleset dan celana pendek agar tidak mudah kotor. Panjang lintasan ke air terjun ini mencapai sekitar 400 meter.
"Akses jalan menuju Curug Banjing memang belum memadai. Kami masih mengupayakan agar mendapat bantuan dari Pemkab Pekalongan," kata Suntung, kepala Desa Tlogopakis, Kecamatan Petungkriyono.
Di acara tertentu, jika beruntung, Anda akan menemukan kesenian Jaran Kepang dimainkan di pelataran sebelum akses ke air terjun. Tarian ini dimainkan kelompok kesenian penduduk setempat.
Puas bermain air di Curug Banjing, perjalanan bisa dilanjutkan ke Desa Gumelem. Di sini, agrowisata stroberi menjadi andalan.
Silakan memetik dan membawa pulang stroberi yang disuka. "Stroberi yang kami tanam dirawat secara organik, tidak menggunakan bahan kimia," ungkap Daryono, pemilik kebun stroberi.
Di kebun stroberi seluas 1.000 meter persegi itu, Daryono mematok harga Rp 40 ribu per kilogram untuk setiap buah stroberi yang dipetik. Dalam sehari, dia bisa menjual hingga 10 kilogram stroberi.
Lantaran peminat buah ini cukup banyak, dia berencana memperluas kebun stroberi hingga satu hektar.
"Dalam sebulan, wisatawan yang datang bisa mencapai 300 orang. Mereka bisa memetik dan memilih stroberi yang diinginkan," imbuh pria yang sebelumnya memilih bertanam cabai dan kubis ini.
Seorang wisatawan yang datang dari Pekalongan, Nova, mengaku senang dapat memetik langsung stroberi yang diinginkan.
"Tempatnya bagus dan bisa memetik stroberi sepuasnya. Ini pengalaman pertama memetik stroberi langsung," ungkap dia.
Nova pun bersemangat mencari buah berwarna merah itu. Dia mencari di antara dedaunan yang lebat untuk menemukan stroberi yang besar.
"Cari yang besar agak susah, ini dapat sedikit dan kecil-kecil," kata dia.
Selain stroberi, Pemkab Pekalongan berencana mengembangkan agrowisata lain berupa gula aren yang juga diproduksi warga Gumelem.
Sebagai buah tangan, kita bisa membawa kopi robusta cap Owa Coffee. Tak sembarangan buah tangan.
Selain bisa menikmati kopi yang dihasilkan dari tanaman kopi liar di hutan Sokokembang, pegunungan Dieng, membeli produk ini berarti ikut melestarikan Owa jawa yang ada di kawasan tersebut.
Saat ini, kopi robusta liar itu diproduksi masyarakat di Kecamatan Petungkriyono yang tersebar di lima dusun. Sebagian besar, berada di Desa Kayu Puring.
Lantaran dari alam liar, harga kopi ini pun tinggi. Untuk 100 gram Owa Coffee, warga mematok harga Rp 25 ribu. Proses roasting atau pengolahan biji kopinya, masih dilakukan secara tradisional.
"Kualitas dan rasanya tidak kalah dari kopi lain," ungkap Community Development dari Komunitas Peneliti dan Pemerhati Primata Yogyakarta (KP2Y), Meyardi Mujianto, berpromosi.
Menurutnya, ada lima jenis kopi yang tumbuh subur di Sokokembang. Hanya, jenis robusta yang mendominasi dan dipilih warga. Produksi kopi warga pun cukup besar.
Sekali panen per tahun, setiap dusun bisa menghasilkan 10 ton kopi. "Memang, jumlah produksi belum bisa ditentukan secara pasti karena tergantung kondisi alam," jelas dia.
Sudah dua tahun ini KP2Y membantu masyarakat melakukan konservasi hutan sekaligus perlindungan primata. Itu sebabnya, mereka menyematkan merek dagang Owa Coffee di produk kopi yang mereka hasilkan.
Keuntungan yang diperoleh pun sebagian disisihkan untuk melindungi Owa jawa yang ada. "Ada sedikit keuntungan yang kita sisihkan untuk melindungi Owa jawa di Petungkriyono dari kepunahan," katanya.
Jika ingin mengunjungi objek wisata di Petungkriyono, baiknya Anda menyewa mobil berukuran sedang atau membawa kendaraan pribadi.
Lebar jalan yang tidak terlalu besar dan medan yang berkelok akan sulit dilewati bus besar. Jalur ini juga belum dilewati angkutan umum yang memadai.
Anda yang berniat menginap, bisa homestay di rumah warga. Untuk kuliner, tersedia beberapa warung dan rumah makan sederhana di beberapa objek wisata. (*)