Sementara Kricakan atau watu pecah, terinspirasi dari pengerjaan jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 Km atau yang dikenal sebagai proyek Daendels.
Di proyek tersebut, kaum muda di Lasem diperintahkan menjadi pekerja penyedia batu pecahana.
Namun, banyak dari pekerja itu yang meninggal lantaran wabah malaria.
Sementara Sekarjagad, merupakan motif berbagai bentuk bunga yang berserakan tidak beraturan.
Sigit yang merupakan generasi kedua pembuat batik dari keluarga Njo melakukan terobosan sebagai ciri khas.
Dia memadukan motif batik yang ada dengan aksara Tiongkok.
"Kami ingin membuktikan, batik Lasem memang memadukan budaya Jawa dan Tionghoa seperti sejarahnya. Tapi, tidak sembarang aksara Tionghoa yang kami tempelkan. Harus memiliki makna," imbuhnya.
Dia mencontohkan kalimat "He Cia Phing An" yang tersemat di kain batik buatannya.
Kalimat tersebut merupakan doa yang mengandung harapan agar seisi rumah selamat.
"Biasanya, batik yang bertuliskan kalimat ini menjadi hadiah seorang anak kepada orangtua," ujar Sigit.
Membatik. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Menurut Sigit, batik kombinasi aksara Tionghoa ini disukai semua kalangan.
Bahkan, dia pernah mendapat pesanan dari pondok pesantren.
Tak sedikit pula batik buatan Sigit dipasok ke pembeli di Malaysia Singapura, Hongkong, juga Suriname.
Tak puas melihat proses membatik di Babagan, kami melanjutkan perjalanan ke sentra batik di Jalan Gedungmulyo.