Dalam sebulan, dia membutuhkan sedikitnya tiga balok timah, yang masing-masing beratnya sekitar 11 kg. Satu balok timah cukup untuk membuat tiga kapal ukuran besar.
Balok timah dibeli khusus dari PT Timah Tbk, yang peruntukkannya memang untuk usaha kecil menengah seperti pewter.
Novi menyebutkan, harga timah tergantung harga pasaran dunia. Pernah dia membeli timah seharga Rp 300 ribu per kg.
Untuk menjaga kualitas dan memang tidak bisa dicampur bahan lain, miniatur kapal harus dibuat dari bahan timah. Novi mengaku merancang sendiri bentuk kapal kecuali plakat dan piala.
"Sejak tahun 1997 Pewter ini berdiri, punya Suyono kakak ipar saya. Sedangkan saya baru masuk tahun 2000, belajar otodidak," ungkap Novi.
Jalan menuju workshop Dwi Darma Pewter tidak begitu mendukung. Dari tepi jalan, masuk melewati jalan selebar satu meter sepanjang 30 meter.
Berada di tengah pemukiman penduduk, workshop pewter tidak tersedia lokasi parkir yang memadai.
Padahal, keberadaan pewter sangat menarik karena hanya sedikit saja yang ada di Bangka.
"Setahu saya cuma ada empat, di Museum Timah, TKF di Jalan Sudirman, Dwi Darma dan di kawasan bandara," kata Novi.
Menurutnya, kerajinan pewter dapat saja dijadikan sebagai tujuan wisata.
Pertimbangannya, tidak banyak orang yang mengetahui proses pembuatan kerajinan timah di Babel.
Novi berharap mendapat perhatian pemerintah. Setidaknya perajin seperti mereka disediakan lokasi workshop yang nyaman dan representatif.
"Kendalanya, lokasi workshop berada di pemukiman dan rumah pribadi. Debu menyebar kemana-mana. Harusnya ada bengkel khusus. Kerajinan ini belum populer di Bangka, anak-anak muda kurang tertarik melestarikan keahlian membuat kerajinan berbahan timah," ungkap Novi.