Awalnya, Pondok Pekak sendiri adalah sebuah penginapan.
Setelah Made kembali ke Bali, ia bersama sang istri memutuskan untuk membongkarnya dan membuatnya menjadi sebuah perpustakaan.
Namanya pun dibiarkan sama, sebagai bentuk penghormatan terhadap sang kakek, yang dalam Bahasa Bali disebut Pekak.
Setiap harinya, Pondok Pekak buka mulai dari pukul 09.00-17.00 Wita.
Namun, sayangnya layaknya perpustakaan lain, Pondok Pekak masih tergolong sepi pengunjung, khususnya dari masyarakat lokal.
Padahal, menurut Made, keberadaan perpustakaan sangat penting, meskipun zaman sekarang dengan kemajuan teknologi, semua bisa disediakan secara digital.
“Masih tetap ada yang mencari perpustakaan, khususnya bule-bule. Karena menurut mereka, ada perasaan puas tersendiri dengan membaca buku langsung secara fisik,” ujar Made.
Untuk sistem peminjaman buku di sini cukup mudah dan tidak begitu kaku.
Bahkan cenderung memberikan selipan pendidikan, khususnya bagi anak-anak.
“Untuk anak-anak kami punya aturan sendiri. Pertama mereka harus baca buku dan belajar taking care buku-buku tersebut. Jika mereka ingin menjadi member, harus bawa dua atau tiga buku untuk disimpan di sini, dan boleh pinjam buku di sini untuk bawa pulang,” ujar Made.
Karena, menurutnya buku-buku anak-anak ini yang rentan mengalami kerusakan.
Selain untuk menanamkan budaya membaca, hal tersebut diterapkan Made juga dengan tujuan agar anak-anak ini belajar menghargai dan merawat buku sedari dini.
Sementara itu, untuk kalangan dewasa dan umum, sistem peminjaman buku ada yang harian dengan tarif Rp 2.000 per hari dengan waktu peminjaman minimal tiga hari.
Ada juga untuk sistem member, yaitu dengan biaya sebesar Rp 50.000 per bulan dan Rp 250.000 per tahun.