Bagi masyarakat setempat, apa yang dijajakan di Bambu Kuning memang tidak kalah dengan produk yang dijajakan di pasar modern.
Pipit misalnya, seorang mahasiswi di Bandar Lampung mengungkapkan jika pedagang di Bambu Kuning cukup kekinian.
Mereka mengikuti tren yang sedang berlangsung di masyarakat.
"Jadi sekarang booming apa gitu, cari aja di Bambu Kuning, pasti ada. Pun kalau belum tersedia, kita bisa pesan ke mereka untuk dicarikan barangnya," tutur dia. "Harga jelas lebih oke, dengan kualitas bisa diandalkan lah," lanjut dia.
Di Bambu Kuning Trade Center di Kota Bandar Lampung, Anda bisa berburu kain tapis hingga kebaya modern (Tribun Lampung/ Heru Prasetyo)
Kenikmatan lain berbelanja disini adalah proses tawar-menawar harga. Ini diakui oleh Rahma, warga Kecamatan Tanjungkarang Pusat.
Ia mengatakan, mampu mendapatkan setengah dari harga penjualan dari proses tawar-menawar.
"Di situ kenikmatannya, bisa dapat harga murah dibandingkan supermarket. Meskipun pengap, tapi seru aja," katanya.
Berdasarkan catatan sejarah, Pasar Bambu Kuning dahulunya merupakan sebuah bangunan pasar yang dimiliki oleh kaum Tionghoa. Etnis Tionghoa pula yang membangun sejumlah perumahan di sekitar pasar.
Sementara hari pasaran dan jenis dagangan ditentukan oleh pemerintah kolonial yaitu pada hari Sabtu dengan jenis dagangan berupa tekstil, kelontogan dan sedikit sayuran.
Bentuk penggunaannya masih sederhana seperti pada umumnya pasar-pasar tradisional, yaitu petak-petak atau pasar yang dindingnya di buat dari bambu dan beratap rumbai.
Selanjutnya pada tahun 1960-an Lampung resmi menjadi sebuah Provinsi dan memisahkan diri dari Sumatera Selatan, pasar ini mulai dibagun secara permanen.
Pada waktu itu Provinsi Lampung hanya memiliki dua pusat pasar, yaitu : Pasar Tanjung Karang Plaza dan Pasar Teluk Betung.
Kemudian dalam perkembagannya, pasar ini telah mengalami beberapa kali pemugaran.
Pemugaran terbesar datang seiring turunnya SK Materi Dalam Negeri No.511-2-598 pada tanggal 26 Juli 1989.