Pertama-tama yang ia lakukan adalah mengumpulkan data-data yang ada pada reruntuhan candi.
Setelah data-data fisik candi lengkap, mulailah Suharto mencari batu yang cocok untuk bagian candi yang hilang.
Setelah itu barulah, ia dapat memugar dan menyusun kembali bangunan candi tersebut.
Kendala dalam memugar candi pun tak jarang ditemuinya.
Dalam memasang, batuan yang cocok, tak jarang ia memanjat bangunan candi.
Suharto dituntut untuk berhati-hati dalam mengangkatnya, lalu mencocokannya, supaya tidak retak ataupun rusak.
“Saat manjat dan bawa-bawa batu candi, kami harus hati-hati, biar tak rusak atau patah. Karena kalau sudah patah atau rusak, nilai sejarahnya menjadi berkurang,” ujarnya.
Sebagai seorang steller, Suharto berharap kepada generasi muda untuk menghargai candi sebagai peninggalan nenek moyang, menghargai jerih payah mereka dengan senantiasa menjaganya.
Ia juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk terus menjaga nilai-nilai dari cagar budaya sebagai warisan untuk anak cucu kelak.
“Siapa lagi kalau bukan kita yang merawatnya. Bangunan-bangunan tersebut tak ternilai harganya, karena itu adalah peninggalan nenek moyang, dan warisan kepada anak cucu kita kelak,” tutupnya sambil tersenyum.(*)