Saat itu, sang nenek bekerja kepada produsen lumpia.
"Ibu saya bekerja di Lumpia Mbak Lin (Produsen Lumpia di Semarang). Setelah itu, memisahkan diri dan membuat kulit lumpia mandiri untuk dijual ke pemilik toko lumpia," sambungnya.
Selain untuk memenuhi pesanan dari toko, kulit lumpia yang dihasilkan warga Kampung Kranggan juga dijual ke pedagang di pasar.
Umumnya, kulit lumpia yang dijual ke pasar berukuran lebih kecil dibanding yang dijual ke toko.
Jika pesanan sedang membludak, perajin kulit lumpia di Kampung Kranggan mampu menghabiskan hingga lima sak terigu berukuran 25 kilogram.
Tiap sak terigu bisa menghasilkan 1.500 lembar kulit lumpia berukuran besar. Sedangkan untuk kulit ukuran kecil, per sak bisa menghasilkan 1.800 lembar.
Pendapatan yang dihasilkan pun cukup menggiurkan.
Untuk satu sak terigu, perajin mendapat keuntungan sekitar Rp 250 ribu.
Jika pesanan tengah ramai, rata-rata keuntungan per hari yang didapat bisa mencapai Rp 1 juta.
Karena kulit lumpia juga, Kampung Kranggan hidup 24 jam. Tidak kurang dari 30 perajin, bergantian terjaga sepanjang waktu untuk memenuhi pesanan. "Kadang, saya mulai membuat kulit lumpia pukul 01.00 dinihari. Tetangga ada yang mulai sejak maghrib bahkan siang hari," jelas Supri.
Perajin lain, Partilah (43), mengklaim, Kampung Kranggan sebagai kampung pembuat kulit lumpia tertua di Kota Semarang.
Bahkan, tidak sedikit warga dari kampung lain yang "berguru" membuat kulit lumpia ke perajin di kampun tersebut.
"Begitu mereka bisa, kemudian mandiri. Menjadikan kulit lumpia sebagai home industri. Jadi, jumlah perajin kulit lumpia terus bertambah," terang dia.
Disebutkannya, kulit lumpia yang dihasilkan warga Kampung Kranggan didistribusikan ke toko besar. Hal terpenting agar bisa bertahan di tengah persaingan, jelasnya, adalah menjaga kualitas kulit lumpia dengan bahan terbaik. (*)