TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mengapa Jepang begitu strategis? Sampai-sampai Menpar Arief Yahya harus menyisihkan waktu khusus untuk mempopulerkan Wonderful Indonesia di ajang JATA Tourism Expo 2015?
Para industriawan juga getul berpromosi di booth berdesain Phinisi Indonesia di Convention Hall Tokyo Big Sight itu? Seberapa potensialkah, dari Negeri Sakura dalam bingkai pariwisata?
Bukankah soal, Jepang sudah punya segalanya? Pantai jernih? Langit biru? Pulau-pulau berpasir putih? Sun set, sun rise, dan komunikasi transedental dengan “Matahari”? Mereka punya destinasi Okinawa?
Setelah bosan dengan suasana megapolitan Tokyo, kultural Kyoto, volcano Fuji dan Osaka? Soal makanan atau kulineri apalagi? Tradisi mengolah makanan di yang memiliki 6.852 pulau itu, jauh lebih detail, bernuansa tradisional, variatif dan punya karakter.
Kota-kotanya teratur, warganya tertib, disiplin tinggi, fasilitas public komplit, nyaris ideal sebagai kota impian di muka bumi ini.
Di atas kertas, orang Jepang sudah tak perlu pergi ke mana-mana lagi. Lalu apa yang menjadi “sumbu magnit” sehingga Kemenpar RI merasa sangat penting dan strategis berpromosi destinasi Indonesia ke Nihon?
Menpar Arief Yahya pun menjawab dengan angka-angka.
Pertama, data kunjungan wisatawan mancanegara dengan originasi Jepang termasuk top five ke Indonesia. Jepang nomor lima, setelah Singapore, Malaysia, China, dan Australia.
Itu fakta yang tidak bisa dihindarkan. Tahun 2014 lalu, dari 9,4 juta wisman yang masuk, 500.000 diantaranya adalah orang Jepang. Tahun 2015 ini, dengan proyeksi 10 juta wisman, Jepang ditarget naik menjadi 525.000 wisman.
“Saya yakin, arus wisman dari Jepang makin deras mengalir,” ucap Arief Yahya seraya membuka lima jarinya sebagai simbol “the big five” Jepang.
Dari bulan Januari sampai Juli 2015, total wisman yang inbound sudah mendekati 5.5 juta pasang mata. Turis asal Negeri yang lagu kebangsaannya berjudul Kimigayo itu sudah 264.000 wisatawan.
“Saya semakin yakin karena komitmen pemerintah begitu kuat, hubungan industri begitu erat dan sejarah Jepang-Indonesia sudah cukup kaya dengan pengalaman,” jelasnya.
Dalam istilah marketing, Jepang adalah pasar utama, pasar potensial, yang punya prospek ke depan.
Hanya dibutuhkan sentuhan promo yang tepat, maka wisman asal Jepang akan lebih banyak yang bisa ditarik ke Indonesia.
Kedua, lanjut Arief Yahya, spending of money wisman Jepang itu tinggi, di atas rata-rata USD 1.200 per orang per hari.
Standar hidup mereka sudah tinggi, ekonomi negerinya memang sudah top 10 dunia, maju dan kaya. Selama ini, kiblat liburan mereka ke Eropa dan AS, itu karena belum tersentuh oleh informasi Wonderful Indonesia.
“Karena itulah, meyakinkan kepada pasar Jepang itu menjadi sangat vital dan logis,” jelas Arief Yahya yang mantan Dirut PT Telkom Indonesia itu.
Ketiga, jarak tempuh Jepang-Indonesia dalam rentang wakti 6-7 jam itu masih ideal, tidak terlalu jauh.
“Angka-angka perjalanan sekitar itu masih nyaman untuk traveling. Mirip-mirip dengan Beijing, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Dubai UEA, dan beberapa kota di Tiongkok. Karena itu, kami terus mencari peluang mitra penerbangan yang bisa menaikkan connectivity. Darimana akses mereka untuk datang-pergi. Itu yang sedang kami diskusikan, dengan airlines,” sebut Arief yang juga jebolan ITB Bandung, Surrey University Inggris, dan Program Doktoral Universitas Padjajaran itu.
Keempat, JATA Tourism Expo 2014 diikuti 47 provinsi, 151 negara dengan mencatat rekor 157.589 pengunjung di convention hall itu. JATA tahun 2015 pada 24-27 September ini diperkirakan lebih banyak lagi, dengan coverage media yang lebih besar lagi.
“Dengan era digital saat ini, dan Jepang adalah negeri digital, maka kami semakin yakin, JATA Tourism Expo 2015 adalah panggung bursa pariwisata yang efektif untuk pasar Asia Pacific dan Eropa dengan konsep B to C, Business to Community,” kata Arief Yahya yang didampingi Asdep Asia Pacific Kemenpar, Vincentius Jamedu dan Markom Kemenpar, Noviendi Makalam itu.
Jepang, juga berpotensi menanamkan modal di bidang pariwisata di Indonesia. Selama ini di Indonesia, Jepang lebih bermain di teknologi, otomotif, dan manufacturing.
“Kami menawarkan services dan hospitality, untuk menaikkan volume kerjasama yang sudah terjalin rapi selama ini. Ada dua skema, yakni investasi pariwisata saja, seperti perhotelan, tetapi hasilnya hanya berasal dari operasional saja, plus minus 15%. Skema kedua, gabungan antara developer atau properti, pengembangan kawasan, yang hasilnya bisa 20% lebih per tahun. Jika dirata-rata, paling konservatif bisa mendapatkan margin 30% per tahun. Di Indonesia, properti masih paling seksi. Dijemur saja per tahun bisa 20%,” papar Arief Yahya.
Kelima, ini soal gaya hidup saja. Salah satu favourit olahraga bagi orang Jepang mapan, adalah bermain golf, dan Indonesia adalah surganya golfer. Lebih dari 140 lapangan rumput ada di Indonesia menurut Asosiasi Pengusaha Lapangan Golf Indonesia (APLGI) dan lebih dari 30 golf course ada di seputar Jakarta.
Kualitas padang golf di Jakarta dan sekitar boleh diadu dengan top 50 PGA Tour. Kelasnya sudah layak “Bintang Lima” meskipun green fee-nya masih “Kaki Lima” jika dibandingkan dengan harga per turun lapangan di Jepang, Korea dan Singapore.
“Main di Indoneaia itu murah, rumputnya bagus, view-nya keren, landscape-nya oke dan dibantu caddy yang mendorong golf bag ke mana saja di 18 holes itu. Di Jepang-Korea-Singapore, golfer rata-rata harus menarik tas stiknya sendiri-sendiri,” jelasnya.
Soal golf itu juga ada bukti bahwa orang berduit Jepang rela merogoh dompetnya untuk membeli stick golf yang harganya “horror.” Karena itu, beberapa merek golf set (satu set stik golf dari lengkap, dari irons berlapis emas, drivers, woods, wedges, putter, tas, tee dan head covers) yang termahal di dunia, seperti Maruman dan Honma 5 Stars adalah buatan pabrikan Jepang.
Driver yang paling panjang dengan kepala paling “mblenduk” itu dibuat dengan bahan fullerene titanium. Shaftnya (tangkainya, red) dibuat ringan agar lebih mudah melakukan follow through dengan pukulan lebih lembut.
Pabrikan pembuat stik itu yakin dan terbukti, semahal apapun stik mereka ada pasarnya, dan orang Jepang sendiri.
Ibarat kata “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak datang!” Karena itu, beberapa industri pariwisata di Batam-Bintan yang ikut di JATA 2015 ada yang memamerkan lapangan golfnya. Bagaimana respons pasarnya?
“Mereka bersyukur, tanggapannya luar biasa. Kami berharap ke depan, promosi luar negeri Kemenpar selalu melibatkan tiga greaters, Bali, Jakarta dan Batam-Bintan-Kepri. Kami butuh simbiosis antara pemerintah dan pelaku industri pariwisata agar tumbuh bersama dengan arah dan percepatan yang sama pula. Promosi luar negeri Kepri tahun depan tetap menginduk ke Kementerian, berbasis pangsa pasar utama dan potensi market, agar tepat sasaran,” kata Guntur Sakti, Kadispar Kepri.
Respon yang sama juga ditangkap Vincentius Jamedu, Asdep Pemasaran Asia Pacific Kemenpar. Apalagi di hari terakhir, Minggu 27 September itu suasana pameran penuh sesak dengan lautan manusia.
Paviliun Indonesia yang dimeriahkan dengan beberapa atraksi violin, sasando (alat music Lombok, red), tarian tradisional dan kostum carnival dengan penataan mirip burung merak raksasa di pintu depan.
Ratusan bahkan ribuan kamera HP yang mengabadikan momen selama pameran, menjadikan picture wall dan di up load di medsos. Itu sebuah promosi tersendiri yang selama ini sering lupa dihitung velue-nya.
Antrean penggemar kopi Indonesia juga tak henti-henti sepanjang hari. Teste kopi juga bisa menjadi alat promosi yang khas, karena aroma kopi itu sangat khas dan menantang.
“Para industriawan pariwisata yang menempati booth Wonderful Indonesia makin merasakan kekuatan promosi luar negeri. Ini adalah gate menuju capaian kunjungan wisman asal Jepang,” tambah VJ, panggilan akrab Vincent Jamedu.
Ada pemeo, Belanda masih jauh, tapi Jepang sudah dekat!