Bu Pardi yang punya nama kecil Inah sebenarnya asli Cimahi, Jawa Barat. Ia sudah 25 tahun berjualan di Larantuka. Sejak kecil ia tinggal di kota itu karena ayahnya yang tentara ditugaskan di sana.
Setelah menikah, ia kemudian membuka warung makan.
Tempat ini sangat ramai mulai pukul 19.00 waktu setempat bersamaan dengan waktu makan malam.
Selang dua jam kemudian, bisa-bisa sudah tidak kebagian, terutama untuk ikan kuah asamnya. Menu baru dimasak setelah dipesan.
"Bumbu saya sama dengan bumbu orang asli sini. Hanya saja yang berbeda, saya menambahkan gula pasir, sedangkan orang sini tidak," ungkap Bu Pardi.
Selain ikan kuah asam, menu setempat yang banyak diangkat ke rumah makan adalah rumpu rampe yang merupakan campuran dari berbagai jenis sayuran, seperti daun pepaya, bunga pepaya, jantung pisang, dan pepaya muda.
Dipakai pula sayuran, semacam wortel atau kentang. Memasaknya dengan cara ditumis.
Jenis-jenis sayuran ini banyak kita jumpai dijual di pasar-pasar di Larantuka, selain daun ubi dan daun kelor yang biasanya dimasak bening atau ditambahkan santan.
Untuk menghilangkan rasa pahit, dedaunan tadi direbus dulu hingga matang baru kemudian ditumis.
Cara lain, menaburi irisannya dengan garam lantas diperas airnya baru dimasak.
Bumbu seperti bawang merah, bawang putih, dan haliya atau jahe merupakan bumbu dasar yang sering dipakai. Lada dan cabai juga dipakai sesuai selera.
Dalam berbagai acara hajatan atau pesta, ada lagi salah satu menu yang sering dihidangkan, yakni lawar, semacam salad yang berisikan irisan sayur segar, seperti kol, wortel, daun kesambi, tomat, belimbing wuluh, dan bawang merah.
Bumbunya garam, bawang merah, dan lombok. Aroma yang menguar dari campuran sayur-sayuran segar ini benar-benar memancing selera makan.
"Kalau tidak ada lauk, makan ini sebagai pengganti ikan, supaya mudah telan nasi," kata Antonia, salah seorang warga yang hadir dalam pesta sebelum dimulainya Festival Seni dan Budaya Se-Daratan Flores dan Lembata beberapa waktu lalu.