Semua ini mengandung harapan-harapan tertentu atau bahkan hajat-hajat khusus untuk mereka yang ikut meramaikannya.
Ayunan tersebut didominasi kain berwarna kuning.
Dalam sejarah orang Banjar, kain kuning memang memiliki makna khusus seperti halnya warna merah pada tradisi orang Cina.
“Kuning itu melambangkan kebesaran dan kejayaan Kerajaan Banjar di masa lalu,” paparnya.
Tradisi ini sudah lama ada di masyarakat Suku Banjar.
Fotografer memotret anak balita didandani pakaian muslim dan diayun-ayun seperti bayi dalam tradisi Baayun Maulid, dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW di Kalimantan Selatan.
Secara pelaksanaannya, tampak kentara sekali nuansa perpaduan budaya Islam dan Hindu.
Hal itu wajar saja karena sebelum Islam masuk ke Kalimantan Selatan, Hindu merupakan agama mayoritas yang dianut oleh orang Banjar.
Setelah Islam hadir dan menjadi agama mayoritas orang Banjar hingga sekarang, budaya peninggalan Hindu itu masih mengakar di adat istiadat lokal namun sudah membaur dengan ajaran Islam.
“Dalam tradisi Baayun Maulid ini contohnya. Nuansa Hindu masih tampak, namun bercampur dengan budaya Islam. Anak sambil diayun, sambil pula dinyanyikan syair-syair Salawat Nabi. Sambil juga didoakan kebaikan-kebaikan untuk si anak dengan benda-benda itu sebagai simbol harapan orangtuanya untuk masa depan anaknya,” bebernya.
Melalui budaya ini, terselip pula unsur syiar Islam di masa lalu.
Budayawan Kalimantan Selatan, Mudjahidin, saat ditemui terpisah menambahkan bahwa tradisi ini dulu dilakukan oleh para bangsawan di Tanah Banjar dan juga rakyat biasa.
Bedanya, ayunan yang digunakan para bangsawan itu berbahan kuningan sementara ayunan rakyat jelata yang biasa saja.
Namun seiring dengan masuknya Islam di Kalimantan Selatan, tradisi ini kemudian diselipi upaya dakwah Islam yakni dengan ditambahi kegiatan melantunkan syair-syair Salawat Nabi dan digelar saat tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW yaitu tiap 12 Rabiul Awal.
“Kalau dulu, baayun maulid ini dilakukan di rumah masing-masing saja, tidak dirayakan secara besar-besaran seperti sekarang. Namun karena tradisi itu dikhawatirkan akan hilang, kemudian digelarlah secara berjemaah tiap tahunnya,” paparnya.