Kearifan lokal
Eka memang tak pernah meneliti kandungan zat-zat dalam jengkol dan singkong sehingga keduanya saling menetralkan. Ia belajar secara empiris, sebagaimana diturunkan lewat tradisi di Minang. Oleh sebab itulah pesanan katering di kantor-kantor pemerintahan Kota Padang Panjang tak pernah meluputkan jengkol dan daun singkong dalam berbagai bentuk olahan. Kedua menu ini seolah selalu berpasangan.
Pondok Baselo Baramas berdiri di perbatasan kota sejak 4 Januari 2013. Warung ini bermula dari usaha katering kecil-kecilan yang dilakukan Eka dan Elvi pada 2001.
Setelah usaha penambangan kapur bangkrut, Eka dan Elvi mencoba membuat ketupat gulai untuk sarapan warga Padang Panjang. Seorang teman bernama Joni Aldo memesan ketupat gulai untuk 40 orang. ”Saya bilang tak punya modal buat katering. Joni malah meminjami saya uang Rp 600.000 untuk modal, ha-ha-ha…,” kata Eka.
Sejak itu, pesanan mulai mengalir dan banyak di antaranya minta makanan rumahan Minang. Ia ingat peristiwa jengkol yang pernah dialaminya. Eka dan Elvi lalu mulai dengan jengkol dan petai, dua jenis makanan yang tak boleh luput dalam deretan menu masakan Minang kampung.
Rupanya, kata Eka, tradisi merantau dan peningkatan kualitas hidup membuat orang Minang selalu rindu masa lalu. Masa lalu itu adalah kampung halaman. Di kampung halamanlah otentisitas kultural itu berpadu dengan romantisisme. Jengkol dan petai adalah dua dari banyak hal yang membuat para perantau Minang bagai menyesap masa lalu.
Eka tak heran kalau beberapa perantau Minang sering kali memesan menu jengkol. ”Termasuk mereka yang merantau dan tinggal di kota Padang, banyak yang hanya datang untuk makan jengkol di sini,” ujar Eka.
Baramas selalu buka pukul 10.00 sampai 16.00 setiap hari. ”Kalau sudah habis, tutup. Tidak memasak lagi,” kata Elvi. Setiap bulan warung ini bisa menghabiskan 2 ton beras untuk rumah makan, tetapi bisa mencapai 5 ton, termasuk melayani pesanan katering.
Eka dan Elvi, dengan sekitar 9 karyawan di warung dan 15 tenaga kontrak, bisa melayani sampai tiga kendurian sekaligus. Tak tanggung-tanggung, kini mereka bisa melayani katering kendurian sampai ke Bukittinggi. ”Pernah kita terima untuk 1.500 orang,” kata Eka.
”Kalau mau rasa asli Minang, saya selalu kemari,” ujar Uni Ina, seorang PNS di Kota Padang Panjang, yang siang itu bersantap bersama seorang temannya.
Otentisitas rasa itu selalu seperti memanggil orang-orang perbatasan. Bukankah kebetulan warung Baramas didirikan di batas dua kota, Padang Panjang dan Tanah Datar?
Di tengah gemuruh perubahan gaya hidup di sejumlah kota, termasuk di kedua kota itu, orang-orang kembali mencari asal-usul, di mana mereka dulu pernah berakar. Di situlah menu kampung seperti karadu patai dan sambal lado jariang menjadi obat penawar rindu pada masa lalu. (Putu Fajar Arcana)