TRIBUNNEWS.COM - Gerhana matahari total adalah fenomena alam biasa. Menjadi langka dan istimewa karena tidak semua wilayah Bumi dapat menyaksikannya.
Rata-rata, gerhana matahari total bisa disaksikan sekali dalam 375 tahun di titik yang sama di muka Bumi.
Lamanya rata-rata perulangan waktu terjadinya gerhana matahari total (GMT) membuat banyak orang berburu gerhana.
Perburuan sering kali dilakukan dengan cara yang tidak biasa, mulai dari mendatangi lokasi-lokasi terpencil di berbagai belahan Bumi hingga mengamati gerhana dari ketinggian stratosfer Bumi.
Agenda Lengkap Wisata Gerhana Matahari Total di Berbagai Daerah.
Alasan berburu gerhana pun beragam, mulai dari hanya ingin menyaksikan dan merasakan sensasi perubahan suasana saat piringan Matahari tertutup sepenuhnya oleh piringan Bulan, melakukan berbagai penelitian ilmiah atau membuktikan teori baru, hingga melepaskan hasrat berkelana.
"Saya ingin seperti Tintin (tokoh komik Petualangan Tintin), bertualang sekaligus menyalurkan minat pada ilmu luar angkasa," kata Wicak Soegijoko (49), pekerja bidang telekomunikasi, Selasa (2/2), di Jakarta.
Hasrat itu dimiliki Wicak sejak kecil. Minat itu membawa Wicak menyaksikan GMT pada 11 Juni 1983 di Cilacap, Jawa Tengah, saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ia juga bisa menyaksikan GMT pada 18 Maret 1988 di atas feri yang membawanya dari Palembang, Sumatera Selatan, menuju Pulau Bangka, dan gerhana matahari cincin pada 26 Januari 2009 dari Tanjung Lesung, Banten.
"Sukar dijelaskan bagaimana rasanya melihat gerhana matahari," ujarnya. Ada rasa puas dan beruntung karena bisa menyaksikan fenomena alam yang langka, sekaligus rasa penasaran karena seharusnya bisa mempersiapkan diri mengamati gerhana lebih baik.
Namun, hal pasti yang dirasakan Wicak adalah rasa diri sebagai manusia yang kecil di alam semesta nan mega luas. "Jadi, kenapa masalah-masalah manusia yang kecil dan tidak berarti harus dijadikan masalah besar?" katanya.
Rasa takjub itu juga dialami Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin saat mengamati GMT pada 18 Maret 1988 di Pantai Penyak, Bangka Tengah, Bangka Belitung.
Ketika itu, ia baru 1,5 tahun menjadi peneliti Lapan dan bertugas memotret proses gerhana menggunakan teleskop.
Pemotretan di awal proses gerhana, saat masih berlangsung gerhana matahari sebagian, berjalan lancar. Saat fase totalitas gerhana berlangsung, pemotretan seharusnya dilakukan dengan melepas filter pengurang intensitas cahaya Matahari yang ada di ujung teleskop.