Cerita yang melatarbekalangi keberadaan tempat sembahyang tersebut juga berbeda-beda.
Namun, dari kesembilan tersebut, hanya Kelenteng Tek Hay Bio yang memuja dewa setempat, Dewa Kwe Lak Kwa.
Menurut Widya, mayoritas kelenteng berada di ujung pertigaan antar gang atau posisi tusuk sate.
"Kebanyakan memang dibangun di pertigaan karena menurut warga Tionghoa, lokasi tusuk sate tidak pas untuk hunian. Akhirnya dibangunlah tempat sembahyang," kata Widya.
Tak hanya bangunan khas Tiongkok, kawasan Pecinan yang kaya akan cagar budaya ini juga memiliki bangunan bergaya Indo-China serta Arab-Melayu.
Widya mengatakan, akulturasi ini terjadi karena lokasi pecinan berdampingan dengan beberapa kawasan lain.
Semisal, Kauman yang dulu menjadi kawasan tempat tinggal ulama dan pengelola masjid.
"Di Pecinan juga ada Gereja Kebon Dalem dan Masjid Jami Pekojan. Tentu saja, ini menjadi hal unik yang mungkin tidak ada di kawasan Pecinan daerah lain," jelas Widya.
Puas menjelajahi tempat-tempat yang menyuguhkan warisan budaya berbentuk benda, saatnya belajar membuat kerajinan tangan.
Di kawasan pecinan, terdapat sentra pembuatan kulit lumpia, kerajinan rumah arwah, pembuatan prasasti, hingga latihan menjadi pemain Barongsai atau Liong di Sekolah Kuntjup Melati.
"Ada warga sekitar yang kami bekali dengan pelatihan hospitality untuk memandu wisatawan yang datang. Jika dibutuhkan, mereka siap menjadi guide keliling kawasan Pecinan," ujar Dharmadi, sekretaris Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis).
Kopi Semawis merupakan komunitas yang mengelola dan menangani revitalisasi kawasan Pecinan. Mereka juga memacu masyarakat untuk merawat benda cagar budaya yang ada. "Kami disini sebagai fasilitator, pelakunya tetap masyarakat Pecinan," tegas Dharmadi.
"Kota Mati" sempat menjadi julukan Pecinan di Semarang. Kerusuhan 1998 yang menandai reformasi Indonesia dan mengusung isu rasial menjadi penyebabnya.
Saat itu, menjelang senja, jalan dan sudut-sudut di kawasan pecinan mulai lengang.