Mereka umumnya hidup berkelompok di hutan-hutan dan berpindah-pindah tempat untuk berkebun maupun berladang.
Perkampungan yang tersusun rapi seperti yang ada saat ini sendiri merupakan peninggalan penjajah Belanda pasca perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir tahun 1848-1851 silam.
Dari catatan Kepala Dinas Pendidikan Kota Pangkalpinang Ahmad Elvian disebutkan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang paling besar pengaruhnya bagi perbaikan kondisi dan masyarakat pribumi pulau Bangka setelah perang Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir (tahun 1848-1851), adalah dengan pembangunan jalan-jalan besar yaitu dari Kota Muntok melalui berbagai pusat distrik sampai ke Toboali, menempuh jarak sekitar 176 paal.
Kemudian dibangun jalan dari Distrik Pangkalpinang melintasi bagian utara dan paling lebar melalui kampung Bakam dan kampung-kampung yang baru saja dibuka ke Distrik Muntok dalam jarak 89 paal, selanjutnya dibangun juga jalan baru dari Distrik Pangkalpinang melalui bagian tengah ke Distrik Sungaiselan dalam jarak 26 paal yang dilanjutkan dari Distrik Sungaiselan menuju kampung Kurau dalam jarak 24 paal.
Jalan baru yang dibangun selanjutnya oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah dari kampung Bakam melalui kampung Layang ke Distrik Sungailiat dalam jarak 26 paal. Jalan-jalan yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda tersebut berada dalam kondisi yang sangat baik dan jalur jalan tersebut masih digunakan oleh masyarakat Bangka hingga sekarang.
Untuk memperlancar transportasi dari Distrik Pangkalpinang ke Distrik Merawang dan selanjutnya menuju Distrik Sungailiat, Pemerintah Hindia Belanda sesuai ketentuan dalam pasal 30 Lembaran Negara 1831 nomor 62, mulai membangun jalan baru dari Baturusa ke Distrik Pangkalpinang, yang jaraknya lebih diperpendek sekitar 43 paal dan diselesaikan pada tahun 1851.
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun jalan-jalan setapak untuk mempermudah transportasi antar kampung yang ada di Distrik Pangkalpinang.
Kebijakan pembangunan jalan-jalan baru oleh Pemerintah Hindia Belanda diikuti dengan kebijakan memindahkan pemukiman penduduk yang awalnya terkonsentrasi pada daerah-daerah pedalaman hutan, ke kiri dan kanan jalan-jalan baru yang dibangun Belanda.
Pola ini mengubah pola pemukiman tradisional masyarakat Bangka dalam kelompok dengan konsep bubung dan arah mata angin (pemukiman masyarakat yang terdiri atas 10 hingga 40 bubung rumah atau pondok ume).
Konsep 40 bubung rumah sampai saat ini masih dipercayai dan diyakini masyarakat Bangka misalnya untuk mendirikan sholat Jumat sudah wajib dilaksanakan bila telah mencukupi 40 bubung rumah, kemudian apabila dalam satu kampung ada anggota kelompok yang melakukan perbuatan tabu (incase), maka akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut menjadi tanggungan sampai 40 bubung rumah.
Rumah pondok atau pondok ume merupakan karakter hunian yang berakar kuat pada masyarakat pribumi Bangka yang hidup berkampung atau berhimpun dalam konsep 10 hingga 40 bubung rumah.
Rumah penduduk pulau Bangka yang disebut pondok ume dibangun dengan arsitekturvernakuler, dibangun dalam pola mancapat searah mata angin.
Konsep 40 bubung sangat berakar kuat pada budaya orang Bangka, terutama pada orang darat yang bercirikan bentuk bangunan memanjang ke belakang dengan atap pelana (bubung gudang) dan kanopi (liper), terbuat dari material tumbuhan rumbia (atep rumbia) dan kulit kayu, lantai terbuat dari kayu (jerejak) yang berbentuk panggung sekitar 50-150 cm, terdiri zona bangunan muka dengan pintu dan jendela di sisi depan dan dapur di bagian belakang yang berdiri di atas tanah dan terdapat tangga kayu berjumlah ganjil (dengan hitungan tangga, tunggu, tinggal) di muka rumah.
Pembentukan kampung-kampung baru di sepanjang jalan Distrik Muntok ke Distrik Toboali terdapat 51 kampung termasuk 45 kampung yang baru dibuka atau dipindahkan dari tempat lain.