Begitulah, rasanya kuliner Toraja pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah perjalanan wisata. Kuliner menjadi pelengkap sempurna pariwisata yang akan senantiasa dikenang.
Sebab, kendati wisatawan sudah pulang ke daerahnya masing-masing, mereka masih bisa mencari dan merasai kembali kuliner di sekitar tempatnya bermukim yang dibawa oleh kaum diaspora yang berasal dari daerah pariwisata.
Bukankah kita sedemikian mudah menemukan gudeg di sekitar tempat tinggal kita meski berjarak ratusan kilometer dari Yogyakarta.
Atau... Kita juga bisa dengan gampang menjumpai rendang meski tempat tinggal kita ribuan km dari Padang.
Kuliner Toraja memang belum sepopuler kuliner daerah lain di Indonesia.
Tapi soal rasa, masakan Toraja menawarkan orisinalitas terutama pada masakan olahan dari daun dan daging.
Seperti yang saya nikmati di Sesean Suloara.
Di kampung yang berada di ketinggian sekira 1400 m dpl ini saya berkesempatan mencicipi masakan lokal yang unik.
Di sana ada pa'piong ayam buraq, pa'piong ayam bulunangko, Pantollo' pammarasan ikan, pangrarang duku tedong atau sate kerbau yang tusuk satenya bisa untuk main pedang-pedangan, sayur pucuk labu siam, sambal katokkon dan ballo' (tuak) dalam suke (bambu).
Pa'piong artinya daging yang dimasak dalam bambu.
Makanan ini adalah makan yang dimasak dengan mengunakan bambu biasa menggunakan sayur bulunangko (mayana) dan bisa juga menggunakan Burak ( pohon pisang ) yang masih muda.
Pa'piong dibagi dalam beberapa macam sesuai dengan bahan baku pembuatannya.
Masakan Toraja menggunakan beberapa bahan khas yang sulit ditemukan di tempat lain.
Salah satunya adalah daun mayana, miana, atau bulunangko yang berbentuk seperti jantung dan berwarna hijau-ungu.