Padahal, mi aceh merupakan salah satu jenis makanan yang sangat merepresentasikan Aceh.
”Sepuluh tahun lalu mi aceh enggak ada di Jakarta. Tapi sekarang ada di mana-mana di Jakarta. Nah, saya ingin menaikkan mi aceh. Akhirnya saya sandingkan dengan wagyu,” tutur Zulkarnaini, Senin (7/11/2016), di markas mie-gyu di Dapur Blok M, kawasan Melawai, Jakarta Selatan.
Mie-gyu melambangkan paduan antara mi dan gyu (wagyu) yang berarti mi daging.
Tak tanggung-tanggung, Zulkarnaini sengaja menggunakan wagyu kualitas atas, yaitu marble 9+ untuk disandingkan dalam mi aceh racikannya.
Dengan begitu, lidah kosmopolitan warga Jakarta mendapatkan daging kualitas terbaik yang pantas mereka nikmati bersama mi aceh racikan baru tersebut.
”Bumbunya kami bikin sendiri. Enggak bisa dibilang dikurangi atau ditambah karena ini our own mixer, mi aceh biasa enggak kayak begini. Bumbunya menjadi lebih simpel meskipun bumbu kering yang dipakai ada 27 jenis,” tutur Zulkarnaini.
Sebagaimana bahan baku utama mi dan daging wagyu yang digunakan, Zulkarnaini juga sangat memperhatikan kualitas bumbu yang digunakan.
Dia memberi perlakuan khusus untuk bumbu-bumbunya tersebut, seperti keluwek dan cabai kering yang selalu dicuci bersih agar menghasilkan kualitas terbaik.
Dia juga mendatangkan bumbu khusus yang hanya bisa diperoleh di Aceh. Salah satunya adalah kaskas yang juga banyak digunakan di resep-resep masakan India.
”Karena ini spesial, wagyu-nya dari rasa dagingnya sendiri, maka mie-gyu ini dibuat enggak pedas. Wagyu yang sudah bercita rasa kalau dihajar pedas kalah. Makanya, dibikin pedasnya pakai lada saja,” kata Zulkarnaini, yang bahu-membahu bersama sang istri, Dara, mengelola mie-gyu.
Selain mie-gyu versi tumis dengan kuahnya ”nyemek-nyemek”, ada juga mie-gyu versi goreng.
Sejauh ini, mie-gyu diterima warga Jakarta dengan baik. Begitu pula konsumen-konsumen asing seperti dari Korea, Jerman, Perancis, dan Tiongkok.
”Orang Jepang kebanyakan kaget dengan wagyunya. Namun, karena di menu mereka juga ada katsu yang disajikan dengan kari, mereka bisa menerima juga,” kata Zulkarnaini.
Di tangan Zulkarnaini, menu asli Indonesia yang didekonstruksi nyatanya sanggup tampil dengan citranya yang baru agar makin diterima lidah-lidah warga Jakarta yang kosmopolitan. (DWI AS SETIANINGSIH)