TRIBUNNEWS.COM - Penikmat mi aceh garis keras bisa jadi akan kaget dengan cita rasa baru yang muncul dari mie-gyu.
Ini mi aceh dengan daging wagyu empuk berbumbu yang disajikan dalam satu piring yang sama.
Namun, bagi lidah-lidah warga Jakarta yang kosmopolitan, mie-gyu adalah pengalaman rasa baru yang dengan pas memadukan cita rasa tradisional dan modern tanpa saling mendominasi.
Ingatan akan mi aceh yang sederhana runtuh seketika saat sepiring mie-gyu dengan potongan daging wagyu kecoklatan yang tampak menggunung disajikan di depan mata.
Taburan bawang goreng, acar bawang merah, kacang tanah goreng, potongan ketimun segar, dan taburan daun kari melengkapi penampilan mie-gyu yang cantik, menggoda untuk segera disantap hingga tandas.
Harapan untuk mencicipi cita rasa mi aceh yang pekat dan kaya rempah pun lenyap kala potongan daging wagyu yang pertama dicomot lumat di dalam mulut.
Teksturnya yang lembut dengan cita rasa berbumbu terasa lamat-lamat mengantarkan pada gundukan mi aceh yang ajaibnya, ketika disendokkan ke dalam mulut, tak menghadirkan rasa bumbu yang pekat khas mi aceh tradisional kebanyakan. Ringan, namun tak kehilangan cita rasa.
Dua tahun
Mie-gyu jelas memberikan pengalaman rasa baru. Meski demikian, cita rasanya yang tradisional tetap terjaga dengan paduan cita rasa modern sebagai strategi agar lebih mudah diterima oleh lidah-lidah kosmopolitan warga Jakarta.
Bagi Zulkarnaini Dahlan, sosok di belakang kehadiran mie-gyu, bukan perkara mudah menyajikan mi aceh dengan racikan gaya dan cita rasa baru seperti itu.
Zulkarnaini bahkan menghabiskan waktu selama dua tahun untuk meriset kelayakan rasanya sebelum memperkenalkan mie-gyu kepada khalayak Jakarta.
Ide awalnya muncul setelah Zulkarnaini mengikuti kompetisi memasak di salah satu televisi swasta di Jakarta.
Zulkarnaini, chef asal Aceh yang selama 16 tahun malang-melintang di dunia kuliner khususnya Perancis ini, merasa tertantang untuk mengeksplorasi kekayaan rempah Tanah Air.
Sebagai putra Aceh, dia tertantang untuk mengangkat derajat mi aceh yang selama ini selalu dianggap sebagai makanan kebanyakan dan tak pernah naik kelas.