Jumlah tersebut belum termasuk pemasok bahan sate maranggi. Seperti daging sapi, daging kambing, daging ayam, gula, garam, tusuk bambu, cabai rawit, beras, daun pisang, dan lainnya.
"Sate Maranggi menciptakan multiplier effect, bahkan bisa dibilang sudah industri makanan," kata Dedi.
Naik Kelas
Sebenarnya, sambung Dedi, Sate Maranggi tumbuh pesat beberapa tahun ini. Dia masih ingat, ketika zaman kuliah, jarang sekali ada penjual Sate Maranggi. Yang diingat adalah penjual sate saat itu ada di perempatan Cianting.
Seiring waktu, bertambahlah pedagang di Cikubang, milik Abah Ajuk. Setelah itu ada sate Maranggi Cibungur.
"Yang terkenal duluan kelapanya di Cibungur itu, baru satenya," terangnya.
Dedi melihat, Maranggi memiliki potensi besar. Itulah sebabnya dia membuat beberapa festival setiap tahun untuk mendekatkan sate ini dengan masyarakat, seperti Festival Kampoeng Maranggi di Plered, Purwakarta.
Dedi juga mendorong penjagaan kualitas dan memperkenalkan Sate Maranggi ke berbagai tempat di Indonesia, bahkan dunia.
"Sate Maranggi sudah masuk ke Istana negara hingga Amerika," katanya.
Di Amerika, konsep penjualan Sate Maranggi dalam bentuk food truck. Dari laporan yang diterimanya, penerimaan warga Amerika terbilang baik.
Setelah Sate Maranggi naik kelas, penjualnya pun menjamur, bahkan sampai di hotel. Walau demikian, Dedi mengaku tidak menjamin rasa sate Maranggi di hotel akan sama, karena Maranggi membutuhkan daging segar.
"Tidak enak kalau daging dari freezer, harus daging segar. Bahkan, biasanya dagingnya digantung," tutupnya.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA